Wanaloka.com – Pekan lalu, 1-4 November 2022, baru usai digelar acara mandatory event the 8th Facilitative Working Group Local Communities and Indigenous People Platform (FWG LCIPP) – bagian dari rangkaian pra-UNFCCC COP27 (United Nation for Climate Change Conference the Conference of the Parties 27) yang diselenggarakan di COP27 Venue Sharm El Sheikh International Convention Center.
Menurut Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), Bambang Supriyanto sebagai perwakilan Indonesia, acara tersebut merupakan pertemuan tahunan para anggota LCIPP dan negara-negara mitra untuk mendiskusikan perkembangan pengelolaan indigenous people (masyarakat adat) dan local community (komunitas lokal).
Dalam acara tersebut, laporan Indonesia disebut mendapatkan apresiasi dari berbagai negara lain, seperti Iran, Nepal, Australia, Kenya dan Norwegia. Mereka menyatakan, pengelolaan komunitas adat di Indonesia sangat menginspirasi dan memberikan pembelajaran yang baik bagi negara-negara lainnya. Terutama untuk melestarikan kearifan lokal dan pengetahuan tradisional dalam rangka membangun masyarakat yang diakui dan negara yang berdaulat.
Baca Juga: Serba Serbi KTT G20, Ikut Merasakan Berkah Akses Jaringan 5G
Apa Laporan yang Disampaikan Indonesia?
Pada pertemuan tersebut, Bambang menyampaikan perkembangaan terbaru pengakuan dan pengelolaan komunitas Adat di Indonesia. Baik melalui penguatan kebijakan, pelaksanaan fasilitasi intensif dari pemerintah dan kolaborasi dengan pemangku kepentingan lainnya, serta peran komunitas adat dalam pengelolaan hutan untuk aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui penguatan kelembagaan, cultural value (nilai kultural) dan local wisdom (kearifan local).
Indonesia mengangkat terminologi komunitas adat dengan merujuk kepada definisi indigenous people. Asalkan memenuhi sejumlah kriteria, yakni masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban dan memiliki pengelolaan bersifat komunal, ada kelembagaan adatnya, ada wilayah hukum adat, ada pranata dan perangkat hukum adat, serta kehidupan masyarakatnya masih tergantung pada hutan.
Untuk masyarakat lokal yang tinggal di sekitar kawasan hutan, tetapi tidak memenuhi kriteria sebagai komunitas adat disebut sebagai local communities. Semisal, kelompok tani hutan. Mereka diberi akses serta pendampingan untuk mengelola hutan negara secara berkelanjutan selama 35 tahun dan dapat diperpanjang dengan skema perhutanan sosial.
Baca Juga: Ada Gula Merah, Ada Gula Semut
Hingga Oktober 2022 telah ditetapkan 148.488 hektare hutan adat kepada 105 komunitas adat dan indikatif hutan adat seluas 1.090.754 hektare. Sedangkan untuk skema perhutanan sosial seluas 5,187,000 hektare untuk 7.814 komunitas lokal.
Kasubdit Pengelolaan Hutan Adat Ditjen PSKL KLHK, Yuli Prasetyo Nugroho menambahkan, Indonesia bersama Filipina yang mempunyai kebijakan mengenai adat, bersama negara anggota lain mengembangkan ASEAN Guidelines on Recognition of Customary Tenure in Forested Landscapes untuk mendukung aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Indonesia juga mendukung pelaksanaan identifikasi dan diseminasi informasi substantif tentang pengembangan dan penggunaan kurikulum perubahan iklim untuk komunitas dat dengan menitikberatkan pada sistem pendidikan formal dan informal bagi generasi muda dan para perempuan adat.
Keterlibatan Indonesia dalam Forum FWG LCIPP dinilai menginspirasi karena dihuni ratusan suku bangsa dengan kearifan lokal masing-masing yg menyebar dari Sabang sampai Merauke. Tradisi kearifan lokal yang diwariskan turun temurun, dari generasi ke generasi yang memastikan pelestarian hutan dan lingkungan berlangsung secara efektif dan berkelanjutan.
Baca Juga: Beruntun, Setelah Sukabumi Gempa Guncang Gianyar dan Kepulauan Sitaro
Bagaimana Nasib Masyarakat Adat di Indonesia?
Sementara Kongres Masyarakat Adat Nusantara VI juga usai digelar di wilayah adat Tabi, Jayapura, Papua pada 24-30 Oktober 2022. Dalam pengantar naskah Resolusi Masyarakat Adat yang dihasilkan, mereka menyampaikan persoalan.
Bahwa Indonesia baru saja melalui krisis ekonomi dan sosial pasca-pandemi Covid-19. Namun kondisi krisis tersebut justru tidak dialami masyarakat adat selama pandemi global. Masyarakat adat beserta wilayah adatnya yang masih bertahan sebagai sentral produksi dan lumbung pangan telah terbukti mampu menyelamatkan warga masyarakat adatnya. Bahkan menyelamatkan bangsa dan negara dari ancaman krisis pangan saat ini maupun yang akan datang.
Masyarakat adat tidak hanya memiliki kemampuan untuk memenuhi pangannya secara mandiri, tetapi mampu berbagi dengan komunitas-komunitas lainnya. Termasuk kota-kota di Tanah Air hingga antara sesama masyarakat bangsa.
Baca Juga: Gempa Sukabumi Magnitudo 4,6 Dirasakan hingga III MMI
Namun cita-cita masyarakat adat untuk berdaulat, mandiri dan bermartabat masih belum menapak bumi, bagai “jauh panggang dari api”. Bahkan, perjuangan masyarakat adat untuk menggapai cita-cita itu semakin menemukan tantangan yang maha berat. Pengingkaran dan kekerasan demi kekerasan terhadap masyarakat adat, kriminalisasi peladang hingga pengabaian masih terjadi akibat kebijakan tingkat daerah hingga pusat.
Kehadiran negara justru menjadi ancaman bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat adat. Melalui Kongres Masyarakat Adat Nusantara ke-6 (KMAN VI), mereka merumuskan 32 poin resolusi.
1. Masyarakat adat mengapresiasi pengakuan hutan adat yang secara deklaratif disampaikan Presiden RI pertama kali pada 30 Desember 2016 di Istana Negara. Namun, penetapan hutan adat itu belum diikuti upaya pemulihan total dan menyeluruh melalui mobilisasi birokrasi dan administrasi negara dari tingkat nasional, daerah, hingga desa di seluruh Indonesia. Mereka mendesak negara perlu melakukan tindakan konkrit di lapangan secara komprehensif dan meluas.
Baca Juga: Masyarakat Rentan Terdampak Perubahan Iklim Butuh Keadilan Iklim
2. Sejak Indonesia merdeka, masyarakat adat di Nusantara merupakan pilar historis dan faktual keberadaan serta keberlangsungan negara Indonesia, tapi belum menikmati hak-haknya. Bahkan masyarakat adat mengalami pemiskinan, pengabaian, penggusuran, hingga kriminalisasi. Sepatutnya hak asasi bagi masyarakat adat harus dipenuhi para penyelenggara negara.
3. Masyarat adat mendesak penetapan RUU Masyarakat Adat menjadi salah satu peraturan perundang-undangansebagai payung hukum yang melindungi hak masyarakat adat. Mereka menegaskan dan menuntut supaya isi UU Masyarakat Adat harus sesuai dengan semangat penghormatan, pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat.
4. Kedudukan masyarakat adat di berbagai daerah telah mendapatkan pengakuan pemerintah melalui penetapan berbagai produk hukum daerah. Mereka mendesak pemerintah daerah melakukan pemetaan hak-hak wilayah adat masyarakat adat dan menetapkan regulasi di tingkat kabupaten atau kota maupun tingkat provinsi.
Baca Juga: Gempa Kepulauan Talaud Dirasakan Bak Truk Melintas
5. Kebijakan pemerintah di bidang reformasi birokrasi merupakan solusi yang menentukan terselenggaranya pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Kongres Masyarakat Adat Nusantara ke-6 (KMAN VI) menegaskan perlunya reformasi aparatur dan reformasi birokrasi di level provinsi dan kabupaten segera dilaksanakan, sehingga kebijakan nasional, utamanya kebijakan politik presiden dapat diimplementasikan dengan baik.
6. Masyarakat adat mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera mencabut peraturan perundang-undangan yang berpotensi mengancam hak-hak Masyarakat Adat Nusantara. Bahkan beberapa peraturan itu dinyatakan mereka inkosntitusional, seperti UU Cipta Kerja.
7. Perkembangan pembangunan secara pesat di berbagai wilayah Indonesia menggunakan lahan milik masyarakat adat. Mereka menyerukan agar pemerintah merumuskan kebijakan teknis yang berpihak dan memudahkan proses pengakuan hak-hak masyarakat adat.
Baca Juga: Tujuh Provinsi Siaga Cuaca Hari Ini yang Bisa Berdampak Bencana
8. Masyarakat adat mendesak pemerintah segera melakukan peneguhan identitas mereka yang berbeda dari entitas kerajaan dan kesultanan melalui sebuah regulasi yang jelas.
9. Masyarakat adat mendesak pemerintah agar memberikan perlindungan terhadap identitas dan warisan budaya mereka, termasuk situs-situs budaya, rumah adat, permainan tradisional, pengetahuan tradisional, dan lain-lain.
Discussion about this post