Wanaloka.com – Selama ini, masyarakat yang menanggung langsung dampak buruk dari bencana iklim, justru menjadi kelompok yang paling tidak tahu-menahu proses kebijakan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Sejumlah aktivitis lingkungan menilai publik perlu mendorong adanya Undang-undang Keadilan Iklim.
Aturan ini diperlukan agar keadilan iklim menjadi isu penting dan genting yang perlu segera diwujudkan. Keadilan iklim akan memperkecil ketimpangan dan bisa memberi manfaat bagi kalangan miskin dan kelompok rentan. Desakan ini mengemuka dalam acara Bedah Dokumen dan Diskusi “Menguak Elemen Keadilan Iklim dalam Aksi Iklim Global dan Penerapannya di Indonesia” pada 3 Oktober 2022.
Mengapa keadilan iklim mendesak diperlukan?
Baca Juga: Sungai Krung Meluap, Ribuan Warga Kota Langsa Terdampak Banjir
Kelompok masyarakat rentan, seperti petani, masyarakat adat, dan nelayan adalah yang terdampak langsung perubahan iklim. Nelayan misalnya, jumlahnya terus menyusut, seiring semakin sulit melaut karena perubahan iklim mengakibatkan cuaca ekstrem.
“Karena mereka melaut berdasar kondisi cuaca. Krisis iklim membuat sulit memprediksi cuaca,” kata Manajer Kampanye Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Parid Ridwanudin.
Akibatnya, durasi waktu melaut sangat terbatas. Dalam setahun, mereka hanya melaut selama 180 hari.
Baca Juga: Banjir di Sumut, Labura Status Darurat Ratusan Warga Terdampak
Sebagai yang paling terdampak perubahan iklim, suara nelayan sangat strategis untuk didengar dalam perumusan berbagai kebijakan adaptasi dan mitigasi. Sayangnya, ruang partisipasi publik justru kian menyusut sehingga keadilan iklim pun sulit terwujud.
Setidaknya ada dua contoh bencana iklim (climate refugee) di lautan. Pertama, desa-desa di pesisir yang tenggelam karena banjir. Ada empat desa di Kabupaten Demak, Jawa Tengah yang tenggelam, salah satunya Desa Bedono. Kedua, nelayan semakin sulit melaut. Jumlah nelayan yang melaut kurun 2010-2019 berkurang dari 2,16 juta nelayan menjadi 1,83 juta nelayan. Ada pengurangan 330 ribu nelayan, antara lain karena tewas saat melaut.
Baca Juga: Kecocokan Vaksin Lama terhadap Varian Omicron XBB Hanya 35 Persen
Jika kondisi ini dibiarkan, Parid memprediksi lebih dari 12.000 desa pesisir dan lebih dari 86 pulau kecil terluar (terdepan) akan tenggelam. Imbasnya, banyak masyarakat pesisir yang akan menjadi pengungsi karena bencana iklim.
“Generasi yang hidup pada 2050 akan menghadapi kenaikan air laut dan terancam krisis pangan laut,” kata Parid.
Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Torry Kuswardono menyampaikan kuliah umum yang menyoroti perjuangan memasukkan elemen keadilan iklim dalam dokumen-dokumen internasional.
“Sebuah perjalanan panjang,” kata Torry.
Baca Juga: Serba Serbi KTT G20, Berkah Rental Mobil Lokal di antara Kendaraan Listrik
Gerakan keadilan iklim ditandai beberapa milestone penting. Pada 1990, sebuah laporan berjudul “Green House Gangsters vs Climate Justice” yang diterbitkan Corps Watch, di San Francisco, menegaskan dampak lingkungan yang ditimbulkan perusahaan minyak terbukti jauh lebih berat menimpa kelompok miskin. Laporan ini menandai dimulainya gerakan yang menyoroti perlunya perspektif keadilan dan keberpihakan bagi kelompok rentan dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Tonggak penting lain adalah Durban Group on Climate Justice yang dibentuk pada 2004. Gelombang gugatan masyarakat Nigeria terhadap perusahaan minyak Shell pada 2000-2020, juga menjadi milestone yang menguatkan dorongan wacana keadilan iklim.
Baca juga: Awas Potensi Banjir di Aceh dan Sumut Hari Ini
Climate Justice Now! yang dideklarasikan Civil Society Forum di Denpasar, Bali, di tengah perhelatan COP13 pada 2007 juga menjadi tonggak penting gerakan keadilan iklim. Tak kalah penting adalah pidato ensiklik, surat kepada umat manusia, Paus Franciscus I bertajuk “Laudato Si – Care for Our Common Home” pada 2015. Paus menggarisbawahi problem yang dihadapi umat manusia, yakni polusi, perubahan iklim, kelangkaan air, hilangnya biodiversitas, dan ketimpangan global. “Laudato Si” yang fenomenal ini juga menyoroti betapa penggunaan teknologi untuk memanipulasi alam, telah memisahkan manusia dari lingkungan dan mengedepankan kepentingan ekonomi.
Keadilan iklim adalah kritik atas pembangunan. Sekaligus upaya untuk memperkecil ketimpangan. Sebuah upaya yang tidak mudah dan terus bergerak.
Discussion about this post