Tim Substansi dari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Erwin Dwi Kristianto menyatakan,RUU Masyarakat Adat adalah untuk menjalankan mandat UUD 1945 pasal UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3).
“Koalisi berpendapat arah pengaturan RUU tersebut meliputi dua hal utama yaitu: pertama penghormatan, pengakuan, dan perlindungan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya serta kedua melaksanakan harmonisasi regulasi, yang karakternya bersyarat, berlapis, parsial atau sektoral,” katanya.
Erwin menambahkan, terkait penghormatan, pengakuan, dan perlindungan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya, sekurangnya ada lima hal yang harus diatur, yaitu mekanisme pengakuan yang sederhana, memastikan masyrakat adat dapat menjalankan hak-hak tradisionalnya, mengatur kelembagaan yang mengurus, termasuk penyelesaian konflik, mengatur ruang lingkup hak tradisional dan memastikan hak tersebut bagian dari HAM, terakhir memberikan restitusi dan rehabiltasi.
Baca Juga:Teknologi IPHA Hemat Air dan Meningkatkan Produktivitas Padi, Tapi Rentan Hama Tikus
Di sisi lain, keterlibatan mahasiswa memegang peran penting dalam mendorong pengesahan RUU MA. Hal ini menjadi wujud nyata solidaritas dan keberpihakan terhadap masyarakat adat yang selama ini kerap terpinggirkan.
Lebih dari sekadar isu hukum, perjuangan ini mencerminkan tanggung jawab moral generasi muda dalam menjaga nilai-nilai keadilan dan keberagaman di Indonesia.
“Sebagai mahasiswa hukum, kita punya tanggung jawab ganda. Tidak saja memahami norma hukum, tetapi juga memastikan hukum berpihak pada yang lemah. Kita tidak boleh abai terhadap penderitaan yang dialami masyarakat adat. Forum ini adalah bagian dari perjuangan itu, ruang di mana kita membangun kesadaran, merumuskan kritik, dan mengorganisasi dukungan,” ujar Ketua BEM FH UI, Muhammad Fawwaz Farhan Farabi.
Selain mendorong penguatan substansi RUU MA, dalam diskusi ini juga memperkenalkan Ground-Truth.id (GTID), sebuah platform pemantauan kehutanan berbasis web dan Android yang dikembangkan oleh Kaoem Telapak. Platform ini dirancang untuk mendokumentasikan berbagai bentuk pelanggaran terhadap hak Masyarakat Adat dan lingkungan hidup.
Baca Juga: Jelantah, Potensial Jadi Bahan Bakar Ramah Lingkungan untuk Pesawat Terbang
Denny Bhatara, Senior Campaigner Kaoem Telapak menjelaskan bahwa GTID ditujukan untuk mengumpulkan dan menyajikan data hasil pemantauan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil, komunitas adat, dan lokal di berbagai wilayah Indonesia.
“GTID menjadi alat bantu penting dalam mendukung advokasi ini. Platform ini mencatat berbagai pelanggaran seperti konflik agraria, perampasan lahan, perusakan lingkungan, hingga kriminalisasi terhadap pejuang adat,” jelasnya.
Dengan mesinergikan penggunaan teknologi pemantauan seperti GTID dengan aktivitas advokasi lingkungan, diharapkan upaya perlindungan terhadap wilayah adat dan kelestarian hutan Indonesia dapat semakin kuat.
“Harapannya aplikasi ini dapat dikolaborasikan sebagai wadah bagi para pemantau untuk menunjukkan bagaimana Indonesia bekerja di lapangan serta memberikan gambaran nyata tentang kondisi di tanah kita,” imbuh Denny.
Diskusi ini merupakan kolaborasi antara Kaoem Telapak sebagai anggota Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat bekerjasama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Indonesia. [WLC01]
Discussion about this post