Wanaloka.com – Dampak perubahan iklim semakin nyata dan bahaya bencana hidrometeorologi kian mengancam keselamatan makhluk hidup di bumi. Di Indonesia, sejak 1 Januari 2025 hingga 15 Oktober 2025, telah terjadi 2.590 kali bencana dengan korban meninggal dunia 360 orang, hilang 37 korban, luka-luka 606 orang, jumlah populasi terdampak 5,2 juta penduduk.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, dari 2.590 kali bencana yang terjadi, didominasi bencana hidrometeorologi yakni, banjir 1.287 kali, cuaca ekstrem 539 kali, longsor 188 kali, kekeringan 30 kali, dan gelombang pasang dan abrasi 15 kali terjadi.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menegaskan, informasi peringatan dini harus segera diterjemahkan dalam tindakan nyata upaya menyelamatkan korban dan mengurangi kerugian.
Baca juga: Masyarakat Sipil Tolak AZEC, Solusi Palsu Perpanjang Ketergantungan Energi Fosil
Indonesia, kata Dwikorita, berkomitmen untuk memperkuat sistem peringatan dini global dalam menghadapi peningkatan potensi bahaya hidrometeorologi akibat perubahan iklim.
Komitmen tersebut disampaikan Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, dalam Kongres Luar Biasa Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization [WMO] Extraordinary Congress/Cg-Ext) yang diselenggarakan di Jenewa, Swiss baru-baru ini.
Kongres ini merupakan forum istimewa yang diadakan di antara sesi reguler empat tahunan WMO untuk merumuskan keputusan strategis dari 193 negara anggota, khususnya terkait percepatan implementasi sistem peringatan dini global (Global Early Warning System) yang lebih tangguh, adaptif, dan inklusif.
Kepala BMKG selaku Permanent Representative Indonesia untuk WMO memimpin langsung delegasi Indonesia yang terdiri dari Deputi Bidang Klimatologi, Direktur Informasi Perubahan Iklim, dan Direktur Meteorologi Publik. Dalam forum tersebut, Dwikorita menegaskan pentingnya memperkuat kerjasama global untuk mempercepat transformasi sistem peringatan dini menjadi mekanisme aksi dini (early action mechanism) yang berorientasi pada perlindungan masyarakat.
“Sistem peringatan dini tidak boleh berhenti hanya pada tahap penyampaian informasi. Informasi tersebut harus segera diterjemahkan menjadi tindakan dini yang menyelamatkan nyawa dan mengurangi potensi kerugian,” tegas Dwikorita.
Baca juga: Yang Bertahan dan Hilang dari Kemandirian Pangan Lokal di Gunungkidul
Sistem peringatan dini yang efektif harus berdiri di atas empat pilar utama inisiatif Early Warnings for All (EW4All), yaitu, pengetahuan risiko, pemantauan dan peringatan teknis, diseminasi informasi yang mudah dipahami, serta kesiapsiagaan untuk bertindak.
Menurut Dwikorita, keempat pilar ini harus berjalan sinergis membentuk satu rantai operasional yang utuh, mulai dari analisis risiko, penyusunan prakiraan berbasis dampak (Impact-Based Forecasting/IBF), hingga koordinasi lintas lembaga untuk memastikan pengambilan keputusan yang cepat di lapangan.
Penguatan Sistem Multi Bahaya







Discussion about this post