“Dalam regulasi sudah jelas, ada kewajiban untuk mengembalikan lahan yang dieksploitasi ke kondisi semula. Misalnya, setelah menambang, harus ada reklamasi yang benar-benar diawasi agar hutan bisa kembali pulih. Begitu juga di sektor kehutanan, eksploitasi kayu harus dibarengi dengan upaya menjaga ekosistemnya,” jelas dia.
Angka kerugian sebesar Rp437 triliun yang dinyatakan Walhi, menurut dia masih lebih kecil dari dampak sesungguhnya. Baginya, ini bukan hanya perkara uang, tetapi juga terkait warisan lingkungan untuk generasi mendatang.
Solusi jangka panjang, ia menekankan perlu transformasi fundamental dalam tata kelola lingkungan di Indonesia. Apabila sebelumnya membangun dengan cara yang merusak, kini memasuki era baru, yakni membangun sekaligus melestarikan yang harus menjadi prinsip dasar dalam mengelola hutan, perkebunan, dan pertambangan.
“Jika pola eksploitatif ini terus dibiarkan, kita tidak hanya kehilangan sumber daya, tetapi juga akan meninggalkan bencana ekologis bagi anak-cucu kita,” ungkap dia.
Selain itu, Priyono juga menekankan bahwa proses pembangunan yang eksploitatif itu menjadi refleksi bangsa untuk menyadarkan cara pandang yang akan mengarah pada mandat baru dalam pengelolaan sumber daya alam.
Ia mengusulkan agar kementerian terkait mengintensifkan kolaborasi dengan universitas dan lembaga riset seperti BRIN agar solidaritas atas kelestarian pembangunan sumber daya alam Indonesia dapat terbangun secara berkelanjutan.
“Puncaknya adalah Indonesia bisa menjadi barometer dunia untuk mitigasi reforestasi dan rehabilitasi. Negara tidak akan menuju pada narasi Indonesia gelap, tetapi Indonesia terang jika negara mau berbenah,” harap dia. [WLC02]
Sumber: UGM
Discussion about this post