Angka deforestasi ini berkontribusi mempertebal emisi gas rumah kaca, sekaligus wujud pengabaian komitmen negara untuk mengatasi perubahan iklim.
Baca juga: Hasil Penelitian AI dan Citra Satelit, Luas Tutupan Lahan Mangrove di Pesisir Semarang Menurun
Masyarakat adat Malind Anim dan Yei secara tidak bebas membuat keputusan dan terpaksa menerima kompensasi “uang tali asih” untuk menyerahkan hak atas tanah adat kepada perusahaan perkebunan tebu PT Global Papua Abadi (GPA) dan PT Murni Nusantara Mandiri (MNM). Nilainya sekitar Rp300 ribu per hektar (atau Rp3.000 per meter), nilai kompensasi yang tidak adil dan tidak sebanding dengan manfaat sosial ekonomi dan jasa lingkungan atas tanah dan hutan.
Pencaplokan tanah dan hutan adat melalui pemberian izin, pemberian kompensasi dan janji kesejahteraan pembangunan seolah-olah jalan normal dan legal. Cara-cara dan pelabelan legalitas ini membuat penguasa dan pengusaha serakah dapat menguasai dan memiliki alat produksi dalam skala luas. PT GPA dan PT MNM, serta delapan perusahaan perkebunan tebu dan bioethanol dalam PSN Merauke memiliki konsesi seluas lebih dari 560.000 hektare, dengan penerima manfaat (beneficial ownership) perusahaan oleh Fangiono Famili dan Martua Sitorus.
Kedua penguasa ekonomi ini juga memiliki izin usaha perkebunan kelapa sawit di Merauke, Sorong, Sorong Selatan dan Teluk Bintuni, hingga lebih dari 300.000 hektare. Konsentrasi penguasaan tanah pada segelintir orang adalah wujud “serakahnomics”, pembatasan penguasaan tanah maksimum dilindas.
Baca juga: Dua Pekerja Freeport yang Terjebak Longsor Ditemukan Tewas, Pakar Sampaikan Tantangan Evakuasi
Atas dasar kesewenang-wenangan itu, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menyampaikan sejumlah tuntutan. Pertama, mengecam kebijakan dan praktik PSN atas nama pengembangan pangan, energi dan air nasional di Kabupaten Merauke, dengan memfasilitasi pemberian kemudahan dan percepatan pemberian izin perolehan tanah adat dan alih fungsi kawasan hutan skala luas.
“Ini menunjukkan praktik serakahnomics,” tegas dia.
Kesewenang-wenangan Menko Pangan dalam mendorong dan menerbitkan perubahan tata ruang, HGU dan perizinan lainnya dinilai wujud serakahnomics dan tidak adil, yang menguntungkan korporasi dengan mengorbankan rakyat.
Baca juga: Sambut Hari Tani, Jampiklim Serukan Penertiban Pertambangan di Wilayah DIY
Kedua, meminta pemerintah menghentikan pemberian izin pelepasan kawasan hutan skala luas dan praktik ekstraktif sumber daya alam yang merusak lingkungan hidup, yang dilakukan tanpa kajian dan mempertimbangkan keseimbangan ekologis, keberlanjutan sumber daya alam dan kelangsungan hak lintas generasi, yang mengabaikan hak masyarakat adat, hanya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi segelintir korporasi.
Ketiga, meminta Presiden segera mengevaluasi dan meninjau kembali PSN Merauke yang dikendalikan dan menguntungkan penguasa dan pengusaha serakah, dengan mengorbankan dan menyingkirkan masyarakat adat, dan lingkungan hidup. Pemerintah seharusnya mengambil langkah-langkah efektif untuk pemenuhan dan penikmatan Hak Asasi Manusia, bukan hanya retorika melainkan bertindak untuk menghormati dan melindungi hak masyarakat adat dan lingkungan hidup.
Keempat, meminta pejabat pemerintah daerah Kabupaten Merauke dan Provinsi Papua Selatan, untuk aktif menggunakan kewenangan khusus sebagaimana UU Otsus Papua, yang diakui untuk mengatur dan bertindak mengurus kepentingan masyarakat adat, menghormati dan melindungi aspirasi dan hak masyarakat adat terdampak PSN Merauke, mewujudkan perekonomian berbasis kerakyatan yang adil dan berkelanjutan. [WLC02]







Discussion about this post