Sementara politik hukum pembatasan hak dipilih prajurit TNI dan anggota Polri tersebut bersifat konstitusional yang sesuai amanat reformasi 1998. Salah satunya termaktub dalam Konsiderans Bagian Menimbang huruf d Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan Pasal 5 Ayat (5) Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.
“Pembatasan ini agar TNI dan Polri tidak masuk dalam ranah politik praktis sehingga tidak merusak demokratisasi dan reformasi birokrasi,” imbuh Saleh.
Atas sejumlah catatan tersebut, PSHK FH UII menyampaikan sejumlah rekomendasi untuk Kemendagri, Presiden, dan DPR.
Kemendagri diminta untuk, pertama, mengevaluasi dan mengganti Penjabat Kepala Daerah yang telah diangkat dari prajurit TNI dan anggota Polri yang belum mengundurkan diri atau belum pensiun dari dinasi aktif.
Kedua, terlebih dahulu membuat pemetaan kondisi riil masing-masing daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah yang memenuhi syarat sebagai penjabat kepala daerah dan memerhatikan kepentingan daerah dan dapat dievaluasi setiap waktu secara berkala oleh pejabat yang berwenang sebagaimana amanat Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021.
Ketiga, karena pemilihan kepala daerah sangat erat kaitanya dengan otonomi daerah, maka kemendagri juga harus memperhatikan aspirasi daerah, oleh karena itu, Kemendagri dalam penunjukan penjabat mengutamakan calon penjabat yang berasal dari daerah yang bersangkutan dan paham akan persoalan daerah yang akan dipimpin.
Presiden dimintak untuk mengingatkan menteri-menterinya agar tetap tunduk dan patuh pada peraturan perundang-undangan dan Putusan MK. Dan DPR sebagai lembaga pengawas eksekutif, agar mengawasi pengisian penjabat kepala daerah agar berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel. [WLC02]
Discussion about this post