Wanaloka.com – Bencana hidrometeorologi meliputi bencana alam anomali atmosfer, curah hujan ekstrem, dan fenomena turbulensi atmosfer. Dinamika atmosfer ekstrem tropis menjadi dasar pemicu kejadian bencana anomali atmosfer.
Bencana hidrometeorologi di Indonesia disebabkan fenomena anomali atmosfer yang memicu terjadinya curah hujan lebat atau ekstrem. Penyimpangan iklim ini berasal dari faktor iklim non-musiman seperti fenomena ENSO (El Nino Southern Oscillation).
Analisis tersebut berdasarkan data peristiwa curah hujan (CH) ekstrem di Indonesia. Tercatat ada lima kejadian CH ektrem dari 2002 hingga 2020. Peristiwa CH ekstrem tertinggi dan memicu terjadinya banjir di Jakarta pada 26 Januari – 1 Februari 2002, 4-14 Februari 2007, 15-24 Januari 2013, dan 9-12 Februari 2015, dan 31 Desember – 2 Januari 2020.
Baca Juga: 100 Desa di Kabupaten Garut Terdampak Bencana Hidrometeorologi
Beberapa analisis menunjukan penyebab utama banjir di Jakarta adalah curah hujan ekstrem, penurunan muka tanah, dan kontribusi kenaikan permukaan laut. Dari analisis tersebut menjadi penting untuk membahas bencana hidrometeorologis berbasis dinamika atmosfer tropis yang mengakibatkan curah hujan ekstrem, sekaligus membuktikan ada indikasi efek perubahan iklim.
“Salah satu permasalahan bagi Indonesia adalah bencana alam yang cenderung meningkat, khususnya bencana hidrometeorologi,” kata Ketua Prodi Doktor Sistem Informasi Fakultas Sains dan Matematika (FSM) Universitas Diponegoro (Undip) Prof. Rahmat Gernowo dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Bidang Fisika pada pertengahan Juni 2022.
Beberapa analisis menyimpulkan hal tersebut akibat indikasi dampak perubahan iklim global (global climate change). Secara umum faktor yang mempengaruhi fenomena tersebut adalah intensitas curah hujan ekstrem di Indonesia. Intensitas curah hujan mudah terpengaruh oleh variabilitas iklim global.
Baca Juga: Bencana Hidrometeorologi di Maluku, 6 Orang Meninggal Dunia
Rahmat menawarkan sebuah upaya mitigasi bencana hidrometerologi di Indonesia. Ia menyampaikan pemikiran mitigasi bencana alam dengan permodelan serta perancangan alat berbasis anomali dinamika atmosfer tropis yang akan diaplikasikan dan digunakan pemangku kepentingan masyarakat.
Sejauh ini, ia telah melakukan analisis pengembangan model forecasting kejadian pertumbuhan awan konvektif untuk memahami gejala anomali atmosfer dari kejadian di atas. Kemudian akan digunakan model Weather Research and Forecasting (WRF).
Model WRF adalah generasi lanjutan model peramalan sistem asimilasi skala meso untuk membantu pemahaman dan prediksi sistem tentang hujan dan angin. Model WRF merupakan model terbaru dari model awal, MM5 yang diaplikasikan untuk hal-hal berikut:
Baca Juga: 5 Desa di Lawu Dilanda Bencana Hidrometeorologi
- Model menggunakan koordinat vertikal mengikuti terrain, tekanan-hidrostatik dengan model puncak permukaan tekanan konstan dan grid horizontal mengikuti Arakawa-C grid.
- Skema integrasi waktu model menggunakan skema Runge- Kutta orde ketiga, dan diskritisasi spasial menggunakan skema orde kedua dan keenam.
- Model mendukung baik aplikasi ideal maupun data real dengan bermacam pilihan kondisi lateral dan batas atas.
- Perhitungan mikrofisika (microphysics).
- Parameterisasi awan cumulus (cumulus parameterization).
Sementara berdasarkan data bencana BNPB 2000 hingga 2020, bencana hidrometeorologi berupa fenomena turbulensi atmosfer menempati posisi tertinggi ke-2. Bencana ini biasa menimpa transportasi udara. Bencana turbulensi meliputi kejadian siklon, puting beliung, dan angin gradient (wind shear). Untuk mengantisipasinya dikembangkan pemodelan serta rancang bangun alat deteksi dini (early warning system).
Discussion about this post