Wanaloka.com – Penyakit tular vector, khususnya malaria, masih menjadi tantangan besar dalam sistem kesehatan global. Malaria sebagai salah satu penyakit tular vektor utama telah menyebabkan 2 miliar kasus dan 11,7 juta kematian sepanjang 2000 hingga 2023.
Tingginya beban penyakit ini menunjukkan perlu strategi pengendalian yang lebih inovatif dan berkelanjutan. Selain itu, pendekatan berbasis insektisida seperti kelambu berinsektisida dan fogging mulai kehilangan efektivitas karena resistensi nyamuk dan perubahan perilaku vektor.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memulai studi awal pendeteksian Wolbachia di daerah endemis malaria, yaitu Papua. Penelitian dilakukan di lima titik di Kabupaten Keerom, yakni di Sanggaria, Yatu Raharja, Ubiyau, Samanawa, dan Pitewi.
Baca juga: Delapan Virus Baru Teridentifikasi pada Kelelawar, Pakar Ingatkan Risiko Zoonosis
“Munculnya resistensi terhadap insektisida, pola penularan luar ruang (outdoor transmission), dan perubahan lingkungan mendorong kami untuk mencari solusi baru yang lebih ramah lingkungan. Salah satunya adalah pendekatan berbasis Wolbachia,” jelas Peneliti Ahli Madya BRIN Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman, Rusdiyah, dalam webinar bertajuk “Update Penyakit Tular Vektor; Berpotensi Menjadi Pandemi Berikutnya”, Rabu, 25 Juni 2025.
Wolbachia adalah bakteri endosimbion alami yang ditemukan pada sekitar 70 persen serangga dan diturunkan secara maternal. Bakteri ini memiliki kemampuan untuk mengganggu siklus hidup patogen penyebab penyakit dalam tubuh nyamuk, serta memengaruhi reproduksi serangga.
Nyamuk yang dikumpulkan berasal dari metode human landing collection (HLC) dan resting collection tahun 2023. Analisis dilakukan menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR).
Baca juga: Ahli Meteorologi Ingatkan Waspada Kekeringan Meskipun Kemarau Basah
Dari total 1.701 nyamuk yang diperiksa, ditemukan empat spesies utama, yakni Anopheles punctulatus, koliensis, farauti, dan bancrofti. Wolbachia terdeteksi secara alami pada tiga spesies, dengan prevalensi tertinggi pada Anopheles punctulatus. Namun secara keseluruhan, hanya sekitar 2,9 persen dari total sampel yang terinfeksi.
“Meskipun prevalensinya rendah, temuan ini cukup signifikan karena menunjukkan Wolbachia memang ada secara alami pada nyamuk Anopheles di Papua. Ini membuka peluang intervensi berbasis pendekatan biologis lokal,” ujar dia.
Wolbachia mengendalikan vektor
Ia menguraikan tiga mekanisme utama bagaimana Wolbachia bekerja dalam pengendalian vektor. Pertama, inkompatibilitas sitoplasmik (CI), yakni telur dari nyamuk betina liar yang dikawini nyamuk jantan pembawa Wolbachia, tidak akan menetas.
Baca juga: KIKA Ingatkan SLAPP Ancaman Serius Kebebasan Akademik Saksi Ahli di Indonesia
Discussion about this post