Sabtu, 26 Juli 2025
wanaloka.com
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video
No Result
View All Result
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video
No Result
View All Result
wanaloka.com
No Result
View All Result
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video

Seruan Koalisi Warga Flores-Lembata: Hentikan Proyek Panas Bumi di NTT yang Melukai Kami

Di Flores dan Lembata, tanah adalah sumber pangan, air, dan martabat. Ketika proyek geothermal masuk, tak hanya membawa alat berat, tetapi juga peta konsesi yang mencaplok ladang, kebun, mata air, dan ruang hidup warga.

Sabtu, 12 Juli 2025
A A
Masyarakat adat Poco Lek menolak proyek panas bumi. Foto Dok. AMAN

Masyarakat adat Poco Lek menolak proyek panas bumi. Foto Dok. AMAN

Share on FacebookShare on Twitter

Studi banding yang dilakukan perusahaan, tak lain upaya perusahaan dan pemerintah menciptakan arena untuk mengalahkan warga. Warga dikelabui janji keberhasilan, dibuai janji manis sehingga luluh dan menyerahkan lahan tanpa perlawanan. Bagi yang teguh menolak, ia akan dibuat tunduk, dikucilkan, diasingkan, disingkirkan.

Baca juga: Puncak Banjir dan Longsor Lagi, Menteri Hanif Cabut Izin Lingkungan dan Rehabilitasi Kawasan

Dapur alam warga di Kampung Watuwawer, bukan hanya sebuah entitas tak bermakna. Ini adalah identitas kebudayaan serta kehidupan warga. Dalam hati percaya, bahwa Ina Kar—sang penjaga dapur alam – akan senantiasa bersama warga dalam menjaga alam dan merawat kehidupan.

Warga yang tinggal di atas tanah ini tak pernah dilibatkan. Sosialisasi hanya formalitas dengan dihadiri aparat desa atau segelintir elite lokal. Warga tidak tahu apa isi AMDAL, tak diberi akses terhadap dokumen, dan ketika warga bertanya, dianggap pengganggu. Informasi ditutup, konflik dibuka.

Di banyak tempat, masyarakat sengaja dipecah. Di Ulumbu, Wae Sano, Mataloko, dan Atadei, solidaritas warga dihancurkan dengan janji pekerjaan, CSR, atau bantuan yang dibagikan secara diam-diam.

Baca juga: BUMN Pertambangan Diminta Serahkan Laporan Tahunan Tepat Waktu

Saat komunitas terpecah, perusahaan dan pemerintah merangsek masuk untuk membakar konflik. Saat konflik merekah, mereka buru-buru masuk. Bukan untuk menyelesaikan secara tulus, tetapi untuk memberi sanksi kepada warga yang masih gigih menolak. Perusahaan dan pemerintah sengaja memainkan konflik, mengadu domba, hanya untuk memastikan pembangunan yang mengoyak kedamaian masyarakat terus berjalan.

Di tengah semua ini, Gubernur NTT diam. Ia menyerahkan masa depan warga kepada tim teknis yang menuliskan laporan berdasarkan titik-titik observasi, hanya berbekal pengamatan satu dua hari, tanpa mendengarkan jeritan warga dengan sungguh-sungguh.

Mereka tidak pernah tinggal di tengah-tengah warga untuk mencicipi rasanya menjadi warga yang harus menghirup aroma belerang nyaris setiap detik.

Baca juga: Kawasan Pasar, Kuliner, dan Mal Wajib Kelola Sampah Mandiri

Mereka tidak pernah merasakan teror yang harus dihadapi pada malam-malam tertentu, dimana gemuruh dan dentuman menggelegar dari perut bumi. Gemuruh yang merenggut rasa aman, mengubah malam damai menjadi mencekam. Tetapi, tidak ada satu kalimat pun dalam laporan itu yang menggambarkan trauma, ketakutan, dan kehilangan warga.

Warga tidak menolak listrik. Tapi menolak dibohongi, menolak dilangkahi, dan menolak proyek yang merampas dan mencederai. Jangan sebut ini transisi energi apabila warga harus mengorbankan nyawa dan masa depan, mengorbankan keselamatan dan seluruh yang diperlukan untuk terus hidup.

Jangan sebut ini ramah lingkungan jika air tercemar dan tanah rusak. Jangan sebut ini kesejahteraan jika hidup semakin sulit dan memerangkap warga ke dalam kemiskinan.

Baca juga: Riset Bakteri Wolbachia Gantikan Kelambu untuk Kendalikan Malaria di Papua

Perempuan, anak-anak, petani, warga adat, semua kehilangan sesuatu. Air, tanah, tubuh, harga diri, identitas, bahkan masa depan. Dalam bayang-bayang kehilangan itu semua, warga tidak pernah diminta pendapat. Pemerintah dan perusahaan tidak pernah menunjukkan kerendahan hati untuk benar-benar mendengarkan secara sungguh dan tulus.

Seruan koalisi warga Flores-Lembata

Warga bersuara karena warga masih ada. Warga melawan karena tanah ini masih dijaga. Warga menolak bukan karena kebencian, tapi karena cinta pada tanah, air, dan kehidupan.

Atas dasar semua penderitaan yang dialami, semua kerusakan yang disaksikan, dan semua kekerasan yang terus berulang, warga menyerukan:

Baca juga: Delapan Virus Baru Teridentifikasi pada Kelelawar, Pakar Ingatkan Risiko Zoonosis

Pertama, Hentikan seluruh aktivitas proyek geothermal di Nusa Tenggara Timur.

Kedua, Cabut seluruh izin proyek geothermal di wilayah yang tidak memiliki persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (FPIC) dari masyarakat.

Ketiga, Tarik semua aparat militer dan polisi dari wilayah konsesi panas bumi.

Keempat, Bebaskan seluruh warga yang dikriminalisasi karena mempertahankan tanah dan airnya.

Kelima, Pulihkan lahan, air, dan ruang hidup yang telah rusak akibat aktivitas eksplorasi maupun pembukaan akses.

Baca juga: Ahli Meteorologi Ingatkan Waspada Kekeringan Meskipun Kemarau Basah

Keenam, Lakukan audit lingkungan independen dengan partisipasi penuh warga.

Ketujuh, Hentikan pemecahbelahan komunitas melalui manipulasi sosialisasi, janji CSR, dan tekanan politik.

Kedelapan, Tempatkan perempuan sebagai subjek dalam seluruh proses keputusan dan pemulihan.

Kesembilan, Adili seluruh tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi selama operasi proyek geothermal di Flores dan Lembata.

Warga tidak minta dikasihani. Warga minta dihormati. Warga bukan pengganggu pembangunan, tapi penjaga kehidupan. Dan mereka akan terus bertahan, karena tanah ini bukan hanya warisan, tapi kehidupan warga sendiri. [WLC02]

Sumber: Jatam

Terkait

Page 2 of 2
Prev12
Tags: energi geothermalJatamNusa Tenggara Timurpanas bumiwarga Poco Leok

Editor

Next Post
Haenyeo, perempuan penyelam bebas dari Korsel. Foto Hyung-sun Kim and Haenyeo Museum/UNESCO.

Haenyeo, Perempuan Penyelam dengan Denyut Jantung Lebih Lambat dan Tekanan Darah Lebih Rendah

Discussion about this post

TERKINI

  • Mahkamah Konstitusi menolak pengajuan uji formil UU KSDAHE, 17 Juli 2025. Foto Dok. AMAN.MK Tolak Uji Formil UU KSDAHE, Dissenting Opinion Dua Hakim Sebut Ada Pelanggaran
    In News
    Kamis, 24 Juli 2025
  • Rapat Koordinasi Penanganan Karhutla di Riau, 23 Juli 2025. Foto Dok. BMKG.Juli Puncak Kemarau di Riau, Potensi Karhutla Meningkat hingga Awal Agustus
    In News
    Kamis, 24 Juli 2025
  • Ilustrasi gajah di kawasan DAS Peusangan, Aceh. Foto WWF Indonesia.Lahan Konservasi Gajah dari Prabowo, Pakar Ingatkan Kepastian Status Lahan dan Kesesuaian Habitat
    In News
    Rabu, 23 Juli 2025
  • Komisi XIII menerima audiensi LEM UII Yogyakarta terkait RUU Masyarakat Adat di Gedung DPR, 21 Juli 2025. Foto Runi-Andri/Parlementaria.Lebih Dua Dekade, Baleg dan Komisi XIII DPR Janji Sahkan RUU Masyarakat Adat
    In News
    Rabu, 23 Juli 2025
  • Peresmian Pusat Komando Peringatan Dini Multi Bahaya di Jakarta, 21 Juli 2025. Foto BMKG.Fondasi Gedung Pusat Komando Peringatan Dini Multi Bahaya Sedalam 30 Meter
    In IPTEK
    Rabu, 23 Juli 2025
wanaloka.com

©2025 Wanaloka Media

  • Tentang
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

No Result
View All Result
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video

©2025 Wanaloka Media