Baca juga: Yang Bertahan dan Hilang dari Kemandirian Pangan Lokal di Gunungkidul
Salah satu nilai tambah Si-AZA adalah integrasi data. Hasil pengujian bisa langsung dikirim ke server web melalui koneksi Wi-Fi atau hotspot dan diakses pihak berwenang secara real-time.
“Kami mendesain sistem ini agar mendukung pengawasan pangan yang terintegrasi secara nasional,” ujar Novita.
Deteksi gas berbahaya MBG
Meski masih tahap prototipe fungsional, alat ini sudah mengantongi nomor pendaftaran paten dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. BRIN kini tengah menyiapkan proses komersialisasi dan standardisasi bersama mitra industri.
Sementara tantangan pengembangan alat ini pun tidak sedikit. Salah satunya menjaga kestabilan sensor dalam berbagai kondisi lingkungan.
“Namun, berkat kolaborasi lintas bidang di tim, hambatan-hambatan itu bisa diatasi,” klaim dia.
Baca juga: 192 Kali Gempa Landa Sumenep dan Pulau Sapudi Jawa Timur
BRIN juga membuka peluang kerja sama dengan industri alat kesehatan, lembaga pengawas pangan, maupun pemerintah daerah untuk mendukung pemanfaatan luas Si-AZA di seluruh Indonesia. Ke depan, BRIN berencana untuk mengembangkan Si-AZA sebagai alat sensor multimoda yang tidak hanya untuk mendeteksi zat aditif berbahaya pada bahan pangan. Melainkan juga gas-gas berbahaya penyebab keracunan makanan, terutama untuk mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG).
“Kami sedang menyiapkan versi yang bisa mendeteksi gas yang dihasilkan bakteri pada makanan, seperti VOC, NH₃, H₂S, dan CO₂. Jadi Si-AZA bisa menjadi alat analisis awal untuk menentukan apakah makanan layak dikonsumsi atau tidak,” jelas dia.
Dengan inovasi berkelanjutan, BRIN berharap Si-AZA menjadi solusi nyata meningkatkan keamanan pangan di Indonesia. Masyarakat bisa merasa lebih aman. Sementara, petugas punya alat bantu modern yang praktis untuk melindungi konsumen dari bahaya zat aditif dan kontaminan berbahaya. [WLC02]
Sumber: BRIN







Discussion about this post