Wanaloka.com – Banjir bandang melanda enam desa di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara (Kaltara) sejak 29 Januari hingga 4 Februari 2023. Padahal Malinau dikenal sebagai kabupaten konservasi yang mempunyai satu taman nasional. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menduga banjir tersebut akibat aktifitas industri di kawasan daerah aliran sungai (DAS) Malinau dan di sekitarnya.
Mengapa?
“Aktivitas pertambangan di kawasan hulu dan DAS Malinau, Sungai Mentarang dan Sungai Sesayap telah menyebabkan alih fungsi lahan dan hilangnya kawasan hutan,” kata aktivis Jatam Kaltara, Andriy Usman
Akibatnya, banjir makin sering terjadi. Bahkan luapan Sungai Sesayap saat banjir pekan lalu mengakibatkan anak kecil usia tujuh, Evan, terseret arus, tenggelam, dan tewas.
Baca Juga: Laksana Tri Handoko: Periset Boleh 1000 Kali Salah, Tapi Tak Boleh Bohong
Berdasarkan catatan Jatam, banjir di Malinau akibat aktivitas tambang di kawasan hulu sudah berkali-kali terjadi. Banjir tersebut berulang sejak 2010, 2011, 2012, 2017, 2021, 2022 dan terakhir pada awal 2023 lalu. Pada 4 Juli 2017, tanggul kolam pengendapan (settling pond/sediment pond) di Pit Betung milik PT Baradinamika Muda Sukses juga jebol dan mengakibatkan pencemaran di lokasi yang nyaris sama.
Mengacu Kepmen Kesehatan Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010 tentang persyaratan kualitas air minum, PDAM Malinau menyatakan kekeruhan air baku pada sungai mencapai 80 kali lipat dari 25 NTU (nephelometric turbidity unit) menjadi 1.993 NTU. PDAM pun mematikan layanan air bersih selama tiga hari, sejak 7 – 9 Juli 2017.
Kemudian pada 7 Februari 2021, tanggul penampung limbah tambang yang diduga berasal dari kolam Tuyak milik PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC) jebol dan mencemari Sungai Malinau. Akibatnya, air sungai menjadi keruh-kecoklatan, ratusan ikan mati mengambang, dan ekosistem sungai menjadi rusak.
Baca Juga: Gempa Turki, Indonesia Kirim Bantuan Kemanusiaan Tahap Pertama
Selain itu, akses air bersih pun terganggu. Setidaknya dialami warga yang tersebar di 14 desa sekitar DAS Malinau (Desa Sengayan, Langap, Long Loreh, Gongsolok, Batu Kajang, Setarap, Setulang, Setaban), DAS Mentarang (Lidung keminci dan Pulau Sapi), DAS Sesayap (Desa Tanjung Lapang, Kuala Lapang, Malinau Hulu, dan Malinau Kota).
PDAM Malinau juga terpaksa menghentikan pengelolaan dan pasokan air bersih pada 8 Februari 2021 karena sumber air baku PDAM dari Sungai Malinau tercemar parah. Guna memenuhi kebutuhan air bersih, warga pun terpaksa menadah air hujan.
Hasik uji lab Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang tertulis pada surat hasil uji sampel Sungai Malinau Nomor: S.447/HUMAS/PPIP/HMS.3/10/2021 atas peristiwa tersebut menyatakan: Terdapat parameter yang melebihi Baku Mutu Air (BMA) kelas 1 PP 82 Tahun 2001 yaitu BOD, COD, PO4, NO3, NO2, Flouride, minyak, lemak, MBAS, CACO3 dan Phenol.
Baca Juga: Deformasi Lempeng Laut Maluku Picu Gempa Mag 6 di Kepulauan Talaud
Selanjutnya pada 14 Agustus 2022, tanggul penampungan limbah beracun milik perusahaan tambang batu bara PT KPUC kembali jebol dan mencemari Sungai Malinau. Air sungai kembali berwarna coklat keruh, berlumpur, meluap hingga menggenangi kebun-kebun warga dan memutus akses jalan penghubung antar Desa Langap dan Desa Loreh.
Tanggul jebol itu juga menyebabkan pasokan air bersih warga di sebagian Malinau terganggu, terutama di Desa Malinau Hulu, Desa Tanjung Keranjang, Desa Malinau Hilir dan Desa Pelita Kanaan di Kecamatan Malinau Barat. Sebab PDAM Malinau berhenti mengoperasikan instalasi pengolahan air. Mengingat baku mutu air Sungai Malinau yang telah tercemar limbah batu bara tersebut tidak memungkinkan untuk diolah menjadi air konsumsi warga.
“Kejadian serupa berpotensi besar akan terus terjadi,” kata Andri.
Baca Juga: Gempa Turki, Pesawat Kepresidenan Dioperasikan Evakuasi Korban
Sebab terdapat lima perusahaan pemegang izin usaha pertambangan yang konsesinya berada pada hulu dan badan Sungai Malinau. Kelima perusahaan itu adalah PT Artha Marth Naha Kramo (AMNK), PT Amarta Teknik Indonesia (ATI), PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC), PT Baradinamika Mudasukses (BM), dan PT Mitrabara Adiperdana (MA).
Tanggul Limbah Batu Bara di Pulau Bunyu Jebol
Saat bersamaan, bencana sosial-ekologi akibat aktivitas tambang juga terjadi di Pulau Bunyu dan perairan sekitarnya. Pada 1 Februari 2023, warga Pulau Bunyu dikagetkan tanggul limbah batu bara di Desa Bunyu Barat, milik perusahaan tambang PT Saka Putra Perkasa (SSP) yang jebol.
Air limbah beracun bercampur lumpur dan pasir tersebut mengalir deras dan menenggelamkan pemukiman warga. Puluhan hektare lahan kebun warga juga rusak diterjang aliran limbah dari tanggul yang jebol, terendam air limbah bercampur lumpur dan pasir. Setidaknya 45 rumah kebun dan enam buah bangunan sarang burung walet warga turut rusak. Sekitar 100 lebih keluarga petani dan nelayan menjadi korban.
Discussion about this post