Baca Juga: Dadan Nurjaman: Olah Emas Bebas Merkuri agar Limbah Aman Dibuang ke Lingkungan
Sementara kawasan pesisir pantai hingga laut Pulau Bunyu juga turut tercemar limbah beracun itu. Warga Pulau Bunyu, Haryono menyaksikan kawasan pantai di Desa Bunyu Barat tercemar limbah batu bara sekitar enam kilometer. Pencemaran tersebut mencapai perairan yang berjarak 2 mil dari bibir pantai Desa Bunyu Barat.
Sejak tanggul penampungan limbah batu bara jebol, tim dari kepolisian, dinas Lingkungan Hidup, Dinas ESDM, serta PSDKP Dinas Kelautan dan Perikanan, hingga Pemerintah Kalimantan Utara telah turun melakukan peninjauan lokasi. Tim-tim itu datang pukul 10.00 WITA dan pulang Pukul 14.00 WITA.
“Warga menyatakan kecewa. Karena tim-tim tersebut hanya sekedar meninjau. Meninggalkan Pulau Bunyu dalam keadaan kolam limbah menganga dan terus mengalirkan limbah beracun hingga ke laut lepas,” papar Andri.
Baca Juga: Gempa di Kota Jayapura Masih Terjadi Pengungsi dan Kerusakan Bertambah
Tidak ada satupun upaya untuk mendatangkan alat berat dan menutup tanggul limbah beracun yang jebol. Padahal kurang satu kilometer dari tanggul terdapat alat berat perusahaan batu bara lain yang sedang beroperasi, yakni milik PT Lamindo Multikon (LM). Akibatnya, limbah beracun tersebut terus mengalir hingga 7 Februari 2023.
PT SSP adalah pemilik konsesi tambang batu bara seluas 728,59 hektare di Pulau Bunyu berdasarkan izin usaha pertambangan Nomor 205/K-IV/549/2014 yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Bulungan. Juga terdapat dua perusahaan tambang batu bara lainnya yang beroperasi di Pulau Bunyu, yakni PT Garda Tujuh Buana (GTB) seluas 710 hektare dan PT LM seluas 2.413 hektare.
Pencemaran pantai dan pesisir Pulau Bunyu itu bukanlah yang pertama kali. Pada Mei 2022, Sungai Siput dan Sungai Barat di Pulau Bunyu juga mengalami pencemaran akibat limbah batu bara. Kedua sungai tersebut menjadi keruh dan berlumpur. Nelayan pun terpaksa melaut lebih jauh, pindah dari muara Sungai Barat dan Sungai Siput ke muara Sungai Kelong dan Sungai Kapah yang belum tersentuh aktivitas pertambangan batu bara.
Baca Juga: Lubang Bekas Tambang di Kukar Makan Korban Lagi, Jatam Desak Ada Sanksi
Padahal, Pulau Bunyu yang hanya seluas 198,32 km² masuk kategori pulau kecil (kurang dari2.000 Km2). Beradasarkan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Jo Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melarang aktivitas pertambangan di pulau kecil.
Sebagaimana bunyi Pasal 35: Pulau Kecil yang ukurannya setara atau lebih kecil 2.000 km2 dilarang untuk “Melakukan Penambangan” dan juga dilarang untuk “Melakukan Pembangunan Fisik” apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/ataubudaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.
Pemerintah Harus Cabut Izin Tambang
Seharusnya, Divisi Hukum Jatam Nasional, M. Jamil menegaskan, rentetan bencana yang terjadi di Kalimantan Utara yang terus berulang itu menjadi pelajaran bagi pengurus negara, khususnya Pemerintah Kalimantan Utara untuk tidak lagi secara ugal-ugalan mengobral izin industri ekstraktif berbasis lahan skala luas. Pemerintah, baik nasional maupun daerah, harus bertindak tegas, mencabut seluruh izin tambang yang telah menyebabkan bencana sosial-ekologis di Kalimantan Utara.
Baca Juga: Gempa Kota Jayapura 9 Februari 2023, Empat Warga Meninggal dan Ratusan Mengungsi
Apalagi, Kalimantan Utara tengah dalam ancaman industri yang berdaya rusak tinggi, tetapi dilabeli ramah lingkungan dan rendah karbon. Yakni dengan keberadaan proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Sungai Kayan serta proyek pembangunan Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI) di Tanah Kuning.
“Kedua proyek yang berada di Kabupaten Bulungan ini berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN) dan diproyeksikan menjadi penopang kebutuhan Ibu Kota Negara yang baru di Kalimantan Timur,” papar Jamil.
Baca Juga: Potensi Perubahan Iklim, Prakirawan Pastikan Data Prakiraan Musim Akurat
Demi menjamin keselamatan warga di Kalimantan Utara, Jatam mendesak pemerintah untuk segera mengambil tindakan tegas, mencabut izin dan menghentikan seluruh aktivitas tambang dan industri ekstraktif lainnya, yang telah terbukti mendatangkan bencana sosial- ekologis dan menyengsarakan warga.
“Juga menghentikan seluruh proyek ramah lingkungan abal-abal, yang berdaya rusak tinggi dan mengundang bencana sosial-ekologis yang lebih besar, seperti KIPI di Tanah Kuning dan PLTA Kayan,” tegas Jamil. [WLC02]
Sumber: Jatam
Discussion about this post