“Karena itu, abalon bernilai aset strategis untuk sektor pangan, kesehatan, dan industri kreatif karena bernilai ekonomi tinggi dan kandungan gizi luar biasa,” imbuh Djoko.
Tantangan ombak tinggi
Meskipun potensial, budi daya abalon di Gunungkidul menghadapi tantangan signifikan. Gelombang laut yang cukup tinggi khas pesisir selatan Pulau Jawa menyulitkan pencarian lokasi budi daya yang aman.
“Saat ini, nelayan hanya bisa menangkap abalon saat air laut surut panjang, yaitu saat purnama dan bulan gelap. Pasokan abalon sebagai bahan kuliner di Gunungkidul pun tidak konsisten.
Baca juga: Iradiasi Pangan untuk Kurangi Food Loss, Lebih Awet, dan Menekan Risiko Kontaminasi
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Djoko mengusulkan solusi berbasis keberlanjutan. Yakni menebarkan benih sebanyak mungkin melalui restocking. Lalu, mengatur regulasi agar nelayan hanya menangkap abalon yang ukuran panjang cangkangnya lebih dari 5 sentimeter. Sebab pada ukuran tersebut, abalon sudah bertelur dan berkontribusi terhadap proses regenerasi populasi di alam.
Melalui budi daya terkontrol, restocking benih, dan regulasi penangkapan, Djoko berharap abalon mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sekaligus, melestarikan ekosistem laut Gunungkidul. [WLC02]
Sumber: BRIN
Discussion about this post