Wanaloka.com – Bencana banjir yang melanda Bali pada 10 September lalu menjadi cermin rapuhnya tata kelola lingkungan di Pulau Dewata. Meski curah hujan ekstrem tercatat hingga 245,75 milimeter hanya dalam satu hari, faktor yang memperparah dampak banjir justru berasal dari persoalan klasik: sampah yang tidak pernah ditangani tuntas.
Tumpukan sampah yang menutup aliran sungai menyebabkan debit air luar biasa besar gagal terserap, merendam kawasan padat penduduk, dan menelan 17 korban jiwa. Bahkan lima orang lainnya masih hilang. Kerugian sosial dan ekologis ini menegaskan sampah bukan lagi sekadar isu kebersihan, melainkan ancaman nyata bagi daya dukung lingkungan dan keselamatan manusia.
“Persoalan sampah harus ditangani di sumbernya. Tidak boleh lagi hanya dipindah, karena sudah memperparah bencana dengan korban jiwa,”tegas Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH), Hanif Faisol Nurofiq.
Baca juga: Musim Penghujan 2025-2026 Datang Lebih Cepat
Krisis ini menunjukkan bahwa sistem pengelolaan sampah di Bali belum terintegrasi antara hulu dan hilir. Di satu sisi, kebiasaan membuang sampah sembarangan masih terjadi, sementara infrastruktur pengolahan belum mampu menampung volume sampah harian yang terus meningkat.
Situasi ini diperparah kurangnya pengawasan di daerah aliran sungai (DAS). Akibatnya, sampah plastik, organik, hingga material konstruksi menumpuk dan menjadi sumbatan fatal saat hujan ekstrem melanda.
Langkah strategis yang kini digagas mencakup penguatan pengelolaan sampah berbasis masyarakat, pembangunan fasilitas pengolahan modern di tingkat kabupaten/kota, serta integrasi penegakan hukum terhadap pembuangan sampah ilegal. Pemerintah juga mendorong sinergi dengan sektor swasta dan komunitas untuk mengurangi timbulan sampah dari sumbernya, sejalan dengan prinsip ekonomi sirkular.
Baca juga: Ada Bank Sampah di Jalur Pendakian Gunung Bawakaraeng
“Momentum ini harus dijadikan pengingat bersama bahwa sampah adalah ancaman nyata. Bila tidak ditangani serius, sampah akan terus menjadi bom waktu yang memperparah bencana di Bali,”tegas Hanif.
Dengan mengubah paradigma pengelolaan sampah dari sekadar pemindahan menjadi penyelesaian di sumber, pemerintah berharap Bali dapat memutus siklus buruk sampah sebagai pemicu bencana. Upaya ini sekaligus memperkuat posisi Bali sebagai daerah yang tidak hanya indah secara pariwisata, tetapi juga tangguh menghadapi krisis ekologis di masa depan.
Peringatan dari DAS Ayung
Pemerintah Provinsi Bali bersama BNPB dan Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) menegaskan komitmen memperkuat langkah pencegahan serta pengawasan ketat terhadap konversi lahan yang semakin mengancam fungsi daerah aliran sungai (DAS).
Baca juga: Komisi XIII DPR Soroti Dugaan Pelanggaran HAM terhadap Masyarakat Adat Tapanuli Raya
“Dalam satu hari, 9 September lalu, turun 121 juta meter kubik air di DAS Ayung. Ini menunjukkan betapa seriusnya ancaman perubahan iklim bagi Bali,”tegas Gubernur Bali, Wayan Koster.
Krisis tutupan hutan di DAS Ayung juga memperburuk kondisi. Dari total 49.500 hektare luas kawasan, hanya sekitar 1.500 hektare atau 3 persen yang masih berhutan. Padahal secara ekologis minimal dibutuhkan 30 persen agar ekosistem tetap berfungsi optimal.
Wayan Koster menekankan pentingnya investigasi dari hulu hingga hilir untuk mencegah banjir berulang. Pertemuan tersebut dinilai penting untuk pencegahan yang harus dilakukan ke depan agar kejadian serupa tidak terulang lagi.
Baca juga: Hujan Lebat dan Angin Kencang Mengintai 12-18 September 2025







Discussion about this post