Menurut Agus, kebijakan sangat menentukan arah pengelolaan hutan, baik dari segi pelestarian hutan atau hasil hutan. Produk-produk hasil hutan harus memiliki aspek service parameters. Aspek ini menilai apakah produk berbahan kayu dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama. Pemilihan jenis kayu untuk produksi harus disesuaikan dengan jenis barang yang akan dibuat.
Baca Juga: Kebijakan Baru Atur Kesiapan Sistem Kelistrikan Menerima Energi Terbarukan
“Misal, kalau kayu bisa memberikan service lebih lama terhadap penghuninya, service parameter-nya luar biasa. Jadi menghubungkan pengelolaan hutan dan hasil hutan,” kata Agus.
Pelestarian hutan juga dipengaruhi langsung oleh banyak upaya pembukaan lahan yang tidak bertanggung jawab. Produksi hasil hutan memang banyak dilakukan di hutan produksi, tetapi upaya untuk reboisasi atau penanaman kembali masih minim dilakukan. Direktur Konservasi, Tanah dan Air, Ditjen PDASRH-KLHK, Muhammad Zainal Arifin menyebutkan kebijakan yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2020 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi, belum bisa menaungi seluruh proses pengelolaan hutan, khususnya reklamasi.
Dalam PP tersebut, perencanaan reklamasi harus ada rencana umum reklamasi dan rencana tahunan reklamasi yang dinilai Kementerian Kehutanan.
Baca Juga: Banyu Panguripan, Kearifan Lokal Masyarakat Kudus Melestarikan Sumber Air
“Ini yang belum banyak orang tahu. Padahal penting, karena reklamasi hutan adalah persetujuan untuk penggunaan kawasan hutan. Artinya, hutan sengaja kita rusak untuk diambil sumber daya hutan,” ucap Zainal.
Selain itu, kebijakan saat ini belum mengatur soal penanaman kembali hutan di kawasan reklamasi. Setelah reklamasi selesai, umumnya kawasan tersebut akan dijadikan waduk untuk menghilangkan senyawa tambang.
Zainal juga mengungkapkan, upaya penanaman kembali hutan seringkali menghadapi berbagai hambatan. Potensi konflik tenurial, keberlanjutan tanaman pasca serah terima kegiatan, transparansi dan akuntabilitas RHL (Rehabilitasi Hutan dan Lahan), dan tidak tepat sasaran. Hambatan-hambatan tersebut membutuhkan solusi pengelolaan yang lebih lengkap. Tidak hanya menganalisa dari pra-rehabilitasi hingga pasca-rehabilitasi. Namun juga melibatkan aspek lainnya, seperti masyarakat, budaya, hingga tata kelola sumber daya.
Baca Juga: UGM Jadi Tuan Rumah Manajemen Kesehatan Bencana ASEAN
Ajak Kampus Identifikasi Turbulensi
Siti memuji Civitas Akademisi Fakultas Kehutanan UGM karena telah berkontribusi dalam pembangunan kehutanan Indonesia. Juga memiliki sejarah panjang yang dipenuhi dengan berbagai sumbangsih karya dan pemikiran, sehingga dapat menjadi rujukan dan sumber pengetahuan dalam pemecahan persoalan terkait kehutanan tropika.
“Saya menjadi saksi bahwa kampus UGM mewarnai secara mendasar penyelenggaraan negara,” tutur Siti.
Ia berharap sivitas akademika dan alumni Fakultas Kehutanan UGM dapat terus mendukung pemerintah dalam mengidentifikasi berbagai solusi untuk mengatasi turbulensi, memperkuat paradigma pengelolaan hutan secara lestari, serta ikut menjaga dan mewujudkan keseimbangan dan keadilan.
Baca Juga: Jepang Buang Limbah Radiokatif ke Laut, DPR Waspadai Impor Seafood
“Tantangan pengelolaan sumber daya hutan akan terus bertambah, turbulensi-turbulensi baru akan terus bermunculan. Mari kita elaborasi langkah lanjut untuk menghadapi berbagai tantangan,” tutur Siti.
Dekan Fakultas Kehutanan, Sigit Sunarta menuturkan bahwa Dies Natalis bertema “60 Tahun Kiprah FKT UGM dalam Menjaga Kelestarian Hutan dan Lingkungan Indonesia” kali ini menjadi titik tolak peningkatan kualitas pengetahuan ilmu kehutanan. Khususnya hutan tropis agar lestari sehingga dapat tetap berkontribusi secara optimal dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air.
“Tema yang dipilih merefleksikan perjalanan sejarah Fakultas Kehutanan UGM yang didirikan pada tahun 1963. Mendukung pengelolaan hutan Indonesia yang lestari, menjamin fungsi ekosistem serta jasa lingkungan hutan Indonesia untuk kehidupan yang lebih baik masa mendatang,” terang Sigit. [WLC02]
Discussion about this post