Wanaloka.com – “Kembali ke Rakyat-Kembali ke Akar” adalah tuntutan yang disampaikan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) pada COP 30 tahun ini. Tuntutan ini disuarakan agar pertemuan iklim dunia dapat berjalan di jalur yang sebenarnya, yaitu keadilan iklim.
Seluruh pengurus negara di dunia harus kembali pada rakyat: merekognisi hak, peran, pengetahuan, dan praktik tradisional rakyat dalam menyusun aksi adaptasi dan mitigasi iklim. Mengubah sistem ekonomi politik tidak lagi mengejar pertumbuhan, dan tidak mengonsentrasikan kekuatan hanya di tangan korporasi dan negara. Sebab itu adalah keniscayaan untuk menjawab akar persoalan krisis iklim.
Setidaknya sejak satu dekade lalu, pada COP21 di Paris, pasca komitmen global untuk menjaga kenaikan suhu bumi 1,5o disepakati, hingga kini dunia tidak bergerak maju. Bahkan banyak data yang menyebutkan sepanjang tahun 2024 menjadi tahun terpanas.
World Meteorological Organization (WMO) menyatakan rata-rata suhu global sekitar 1,55°C ± 0,13°C di atas periode 1850–1900. Fakta ini adalah konsekuensi jika pertemuan COP hanya menjadi ruang untuk menyediakan solusi dari mereka yang selama ini menyebabkannya. Bahkan menurut analisis terbaru Koalisi Kick Big Polluters Out (KBPO), lebih dari 1600 pelobi bahan bakar fosil diberikan akses ke perundingan iklim COP 30 di Belem, termasuk Indonesia.
Baca juga: Kasus Gigitan Ular Meningkat, Pakar UGM Baru Teliti Karakterisasi Bisa Kobra Jawa
Sebanyak 46 pelobi bahan bakar fosil dalam delegasinya dan mengintervensi negosiasi Pasal 6.4 terkait pasar karbon untuk melonggarkan aturan pasar karbon, termasuk standar integritas lingkungan yang lebih lemah dan perlindungan longgar terhadap proyek offset berbasis alam berisiko tinggi, yang dinilai bertentangan dengan sains dan target 1,5°C.
“Fakta ini semakin membuktikan negara telah “diambil alih” korporasi,” kata Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian.
Bentuknya, negara memberi akses istimewa pada korporasi untuk memengaruhi kebijakan iklim dengan melonggarkan aturan pasar karbon, agar para pebisnis fosil dapat dengan mudah meng-offset emisi, sekaligus mendapatkan keuntungan dari bisnis karbon.
Praktik corporate capture yang dilakukan Indonesia semakin membuktikan, bahwa tidak ada agenda keselamatan rakyat dan lingkungan dalam misi delegasi Indonesia. Walhi tidak mau terlambat menyelamatkan kehidupan rakyat Indonesia.
Baca juga: Jalankan Lima Fungsi Utama, Kebun Raya Indrokilo dan Banua Dapat Penghargaan
“Itu lah kenapa kami menyuarakan Kembali ke Rakyat – Kembali ke Akar, sebagai call to action dalam COP 30 ini, baik dalam aksi global di Belem, maupun aksi serentak di Indonesia,” jelas Uli.
Suara-suara dari jaringan daerah
Desakan ini juga disampaikan Walhi bersama jaringan dan komunitas di delapan provinsi di Indonesia, yaitu Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Riau, Nusa Tenggara Timur, Jambi, dan Sulawesi Tengah. Direktur Eksekutif Daerah Walhi NTT, Yuven Stefanus Nonga menyampaikan suara dari pulau kecil yang merupakan wilayah paling rentan berhadapan dengan krisis iklim.
Bahwa perempuan, anak, masyarakat adat, nelayan, petani yang hidup di pesisir dan pulau-pulau kecil adalah entitas paling rentan saat berhadapan dengan krisis iklim. Mereka hidup di garis depan krisis iklim di tanah yang retak, laut yang naik, dan gunung yang dieksploitasi atas nama transisi hijau.
Oleh karena itu, mereka mendesak pemerintah menjadikan kerentanan wilayah dan situasi masyarakat di tapak, di seluruh daerah menjadi basis utama dalam menyusun kebijakan iklim berikut dengan agenda aksi dan adaptasinya.







Discussion about this post