Wanaloka.com – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyampaikan kecaman keras terhadap tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian terhadap massa aksi demonstrasi yang berlangsung sejak 25 Agustus 2025 di berbagai kota di Indonesia. Kekerasan yang dilakukan aparat tidak hanya melanggar hak-hak dasar warga negara, tetapi juga mencerminkan kegagalan negara dalam merespons tuntutan publik secara adil, bermartabat, dan demokratis.
Lebih lanjut, pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menuding demonstrasi sebagai tindakan makar dan terorisme justru akan semakin memperkuat legitimasi kekerasan aparat. Alih-alih menunjukkan kepemimpinan yang solutif dan terbuka, Presiden memilih pendekatan retoris yang menebar ketakutan dan menutup ruang dialog.
“Walhi mendesak agar Presiden mencabut izin penggunaan kekuatan berlebih oleh Polisi dan TNI, karena pendekatan ini hanya akan memperluas lingkaran kekerasan dan menambah korban jiwa,” tegas Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi.
Baca juga: Ahmad Fauzi, Kerusakan Lingkungan Akibat Tata Kelola Kebijakan SDA Tak Matang
Aksi demonstrasi Adalah bentuk ekspresi politik yang sah dan dijamin konstitusi. Ia lahir dari keresahan kolektif atas berbagai persoalan struktural yang selama ini diabaikan pemerintah, mulai dari perampasan ruang hidup hingga ketimpangan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Bukannya membuka ruang dialog yang konstruktif dan menunjukkan empati terhadap aspirasi rakyat, pemerintah justru memilih pendekatan koersif yang berujung pada hilangnya nyawa warga seperti Affan Kurniawan yang sehari-hari bekerja sebagai pengemudi ojek online di Jakarta, hingga Rheza Shendy, mahasiswa di Yogyakarta.
Tewasnya Affan dan Rheza bukan hanya mencerminkan kegagalan aparat dalam menjalankan tugas perlindungan terhadap warga. Namun juga menjadi simbol dari runtuhnya komitmen negara dalam membangun pemerintahan yang demokratis, adil, dan berpihak pada rakyat. Kekerasan yang dilakukan aparat bersenjata terhadap warga sipil yang terus menerus dilakukan adalah bentuk nyata dari represi negara yang tidak bisa ditoleransi.
Baca juga: Kearifan Lokal Kelekak, Siapa Menebang Pohon Wajib Menanam Kembali
Walhi mengingatkan, yang harus diperhatikan adalah gelombang protes dan demonstrasi yang merebak sejak Agustus 2025 tidak lahir dari ruang hampa. Melainkan akumulasi kekecewaan publik terhadap kegagalan DPR dalam menjalankan fungsinya dalam menjalankan mandat sebagai wakil rakyat.
Dalam satu dekade terakhir, DPR telah mengesahkan berbagai regulasi yang memperkuat perampasan ruang hidup dan memperlemah perlindungan terhadap lingkungan. UU Cipta Kerja, UU Mineral dan Batubara (Minerba), UU Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE), serta UU Ibu Kota Negara (IKN) adalah contoh nyata dari kebijakan yang dikebut tanpa mengindahkan aspirasi dan keberatan masyarakat.
Ironisnya, di tengah ketidakadilan yang semakin menganga, DPR justru menikmati berbagai privilese politik, seperti kenaikan tunjangan dan fasilitas, yang semakin memperlihatkan jarak antara wakil rakyat dengan rakyat yang diwakilinya.
Baca juga: Rumah Produksi Garam dari Limbah Botol Plastik Atasi Dampak Perubahan Iklim di Pantura
Sementara pola kekerasan yang dilakukan Polri menunjukkan institusi ini telah bertransformasi menjadi alat represi negara terhadap rakyatnya sendiri. Dalam 10 tahun terakhir, Polri menunjukkan kecenderungan brutalitas yang mengkhawatirkan. Aksi penyampaian pendapat di muka umum yang seharusnya dilindungi justru direspons dengan penggunaan kekuatan berlebihan, penangkapan, penahanan, pemukulan, dan intimidasi terhadap para demonstran.
Dalam catatan Walhi sejak 2014 sampai 2024, setidaknya 1.131 orang mengalami kekerasan dan kriminalisasi karena perjuangannya untuk mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Ini bukanlah bentuk penegakan hukum yang berkeadilan, melainkan upaya sistematis untuk membungkam demokrasi dan menghalangi partisipasi publik dalam proses politik.
Atas situasi yang semakin mengkhawatirkan ini, Walhi menyampaikan delapan tuntutan.
Baca juga: Resolusi Aliansi di NTT Desak Pengesahan UU Masyarakat Adat dan Revisi Total UU Kehutanan
Pertama, Pemerintah dan DPR secara bersama-sama menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada semua pihak yang menjadi korban kekerasan polisi dan secara umum meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia.
Kedua, Pemerintah dan DPR secara bersama-sama memastikan pemulihan baik secara fisik dan psikis terhadap semua demonstran yang menjadi korban akibat tindakan represif oleh Polisi dalam merespon demonstrasi.
Discussion about this post