“Ini ironi besar,” tegas Parid.
Dalam konteks itu, buku itu menjelaskan, secara operasional ekonomi biru di Indonesia diimplementasikan dalam sejumlah hal berikut. Pertama, kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota di 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Negara Republik Indonesia, yang telah dilegalisasi oleh PP 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur.
Baca Juga: Krisis Iklim, Jokowi Minta Pengusaha Tanam Pohon di Area Bekas Tambang
Kedua, ekspansi shrimp estate atau budidaya udang skala besar, seluas 11.000 hektar terdiri atas 5.000 hektare (45 persen) dibangun pemerintah dan 6.000 hektare (55 persen) oleh swasta (KKP, 2021).
Lantas bagaimana keberadaan ekosistem mangrove yang akan terdampak perluasan shrimp estate? Dalam pada itu, kajian Walhi (2022) menyebutkan sampai tahun 2040 akan ada hampir 2 juta hektare kawasan perikanan budidaya skala besar yang akan mengancam keberadaan ekosistem mangrove.
Ketiga, ekspansi industri pariwisata skala besar di banyak wilayah pesisir, laut, dan pulau kecil. Contoh paling nyata adalah pengembangan kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) yang menjadi kawasan pariwisata premium. Juga pengembangan kawasan pariwisata skala besar yang sering disebut 10 Bali baru dibangun di banyak tempat di Indonesia.
“Dampaknya banyak terjadi konflik di lapangan,” jelas Parid.
Baca Juga: Solidaritas Nasional untuk Rempang: Peristiwa Rempang 7 September Pelanggaran HAM
Keempat, ekspansi perluasan kawasan konservasi laut sampai seluas 32 juta hektare pada tahun 20203. Perluasan kawasan konservasi laut ini akan mengulang kegagalan konservasi lama yang ditetapkan secara top down dan mengejar setoran ke dunia internasional dalam rangka memenuhi target 30 x 30.
Ekonomi Biru Dorong Perampasan Ruang Laut
Ekonomi biru di Indonesia telah dan sedang mendorong dan mempercepat perampasan ruang laut atau ocean grabbing. Istilah ocean grabbing digunakan untuk menyoroti proses dan dinamika penting yang berdampak negatif terhadap keberlanjutan sumber daya laut, sekaligus keberlanjutan hidup masyarakat yang cara hidup dan identitas budaya serta mata pencahariannya bergantung pada penangkapan ikan skala kecil.
“Aktor utama ocean grabbing adalah pemerintah, lembaga di tingkat regional dan atau internasional, organisasi lingkungan internasional, perusahaan skala besar, dan yayasan filantropi,” imbuh Parid.
Baca Juga: Ekosistem Karbon Biru Diklaim Dukung Keberlanjutan Ekonomi Biru
Beragam lembaga ini merupakan aktor utama yang mendorong reformasi dan kebijakan berbasis pasar yang akhirnya memungkinkan terjadinya perampasan laut. Dalam praktiknya, proses ini terkadang menggunakan pemaksaan melalui lembaga keamanan untuk menegakkan kepatuhan.
“Perampasan laut terjadi melalui proses tata kelola yang tidak tepat dengan menggunakan tindakan yang merusak mata pencaharian masyarakat atau menghasilkan dampak yang merusak kesejahteraan sosial-ekologis,” papar Parid.
Dalam situasi semacam ini, ekonomi biru justru menambah persoalan baru dari pada menyelesaikan masalah tata kelola sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia.
“Pada titik ini, Pemerintah Indonesia seharusnya kembali pada konsep ekonomi yang dimandatkan oleh konstitusi Republik Indonesia. Bukan silau dengan ekonomi biru yang sangat bias kepentingan negara-negara utara,” tegas Parid. [WLC02]
Sumber: Walhi Nasional
Discussion about this post