Framing gas sebagai “jembatan” transisi memberi legitimasi teknis dan finansial bagi pembangunan infrastruktur baru yang justru memperpanjang usia bahan bakar fosil. Praktik greenwashing seperti ini tidak hanya menunda transformasi energi yang adil dan cepat, tetapi juga mengalihkan aliran dana dari energi terbarukan ke proyek-proyek yang mempertahankan ketergantungan pada energi fosil.
Gas fosil yang kerap disebut sebagai gas “alam” oleh industri bahan bakar fosil, merupakan jenis hidrokarbon yang berasal dari sumber fosil dan mengandung metana sebagai komponen utama, gas rumah kaca dengan potensi pemanasan global jauh lebih tinggi daripada karbon dioksida.
Meski dipromosikan sebagai energi yang lebih bersih, gas fosil tetap menghasilkan emisi CO₂ dan metana yang memperburuk krisis iklim. Ketergantungan Indonesia terhadap gas fosil justru dapat menjadi jebakan baru dalam transisi energi, karena metana yang timbul dari sepanjang rantai pasok, ekstraksi hingga pembakaran menunjukkan gas adalah sumber energi yang tidak ramah iklim.
Baca juga: Rantai Pangan Terkontaminasi Radiasi Cesium-137, Walhi Desak Pemerintah Revisi Regulasi Limbah
Walhi juga menyoroti perencanaan PLTGU Batang tidak memberi ruang partisipasi bermakna dari masyarakat terdampak. Pengambilan keputusan berlangsung tertutup, tanpa konsultasi publik yang setara. Dampak negatif terhadap mata pencaharian nelayan, degradasi mangrove, dan gangguan ekosistem pesisir tidak pernah menjadi pertimbangan utama.
Sementara manfaat ekonomi lebih banyak dinikmati investor besar dan elite politik. Dalam konteks keadilan lingkungan, pengabaian partisipasi publik bukan sekadar kekurangan prosedural, melainkan pelanggaran struktural yang melemahkan legitimasi sosial proyek dan meningkatkan risiko konflik serta biaya sosial jangka panjang.
“Kami menolak keras pendanaan proyek PLTGU Batang melalui mekanisme pendanaan internasional yang lahir dari inisiatif AZEC,” tgas Boy.
Risiko “financial lock-in” sangat nyata, di mana aliran pendanaan yang seharusnya mendukung energi terbarukan justru diarahkan ke proyek gas yang mempertahankan aset-aset fosil. Negara dan daerah akan terjerat dalam jalur pembangunan yang menghambat pencapaian target iklim nasional dan global. Oleh karena itu, kami menuntut transparansi penuh terhadap proyek-proyek, perjanjian, dan kerjasama yang diklaim mendukung dekarbonisasi.
Baca juga: Gunung Lawu Batal Masuk Wilayah Kerja Panas Bumi, Kecamatan Jenawi Jadi Alternatif
Empat seruan Walhi
Terkait Pembangunan PLTGU Batang, Eksekutif Nasional Walhi (Friends Of The Earth Indonesia} dan Eksekutif Daerah Walhi Jawa Tengah menyampaikan sejumlah seruan.
Pertama, Walhi menyerukan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk menghentikan rencana pembangunan PLTGU Batang dan mengevaluasi seluruh proyek dalam kerangka AZEC.
Kedua, Walhi menyerukan kepada investor dan lembaga pendanaan internasional untuk tidak mendanai proyek PLTGU Batang yang merupakan kelanjutan penggunaan energi fosil dibungkus atas nama transisi.
Ketiga, Walhi menyerukan kepada masyarakat sipil untuk memperkuat solidaritas dan perlawanan terhadap proyek-proyek yang mengancam ruang hidup dan masa depan iklim.
Transisi energi yang adil tidak bisa dibangun di atas perusakan, pengabaian hak, dan ketergantungan pada energi fosil. Walhi menuntut transformasi sistem energi yang berpihak pada rakyat, lingkungan, dan generasi masa depan.
“Batang bukan ladang eksperimen. Pesisir bukan ruang buangan. Transisi bukan dalih perusakan,” tegas Boy.
Keempat, Walhi menolak PLTGU Batang, menolak solusi palsu AZEC, serta menuntut transisi energi yang adil, setara dan berkelanjutan sekarang. [WLC02]
Sumber: Walhi






Discussion about this post