Wanaloka.com – Rakyat Pulau Wawonii di Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, menggelar aksi pendudukan di lokasi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) PT Gema Kreasi Perdana (GKP). Aksi digelar setelah Mahkamah Agung (MA) menolak Peninjauan Kembali (PK) pencabutan IPPKH yang diajukan PT GKP bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Putusan Nomor: 83 PK/TUN/TF/2025 pada 4 November 2025 lalu.
Peninjauan Kembali IPPKH diajukan setelah Mahkamah Agung mengabulkan gugatan warga pulau Wawonii yang membatalkan dan mencabut IPPKH milik PT GKP melalui Putusan Nomor: 403 K/TUN/TF/2024. Majelis Hakim Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta juga memerintahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mencabut IPPKH yang mengizinkan kegiatan produksi bijih nikel atas nama PT GKP beroperasi di kawasan hutan pulau kecil Wawonii, seluas 707,10 Ha.
Putusan MA di tingkat PK ini menambah kemenangan warga Wawonii dan warga pulau kecil lainnya di seluruh Indonesia yang memperjuangkan ruang hidup dari ancaman industry ekstraktif.
Baca juga: Longsor Banjarnegara, Operasi SAR Diperpanjang Tiga Hari
Berdasarkan hukum di Indonesia, aktivitas tambang di pulau-pulau kecil telah dilarang karena mengakibatkan kerusakan ekologi-sosial bagi masyarakat pesisir dan pulau kecil, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo UU No 1 Tahun 2014, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K).
Kronologi perlawanan warga Wawonii
Pulau Wawonii adalah pulau kecil yang memiliki luas 715 km persegi dengan jumlah penduduk mencapai 38.383 jiwa. Kehidupan mereka bergantung pada hasil laut dan kebun, mulai dari kelapa atau kopra, kakao, jambu mete, cengkeh dan pala.
Meski dikategorikan pulau kecil, hingga tahun 2025, ada empat blok konsesi tambang yang dikuasai tiga perusahaan yang mulai beroperasi di Wawonii sejak tahun 2010. Meliputi PT GKP, PT Bumi Konawe Mining dan PT Wawonii Makmur Jayaraya, yang seluruhnya adalah anak perusahaan Harita Group milik Lim Hariyanto, salah satu miliarder terkaya di Indonesia.
Baca juga: Tiga Jalur Masuk Mikroplastik ke Tubuh Ibu Hamil
Selain melakukan pembangkangan hukum untuk memuluskan pertambangan di pulau kecil, operasi tambang nikel di Wawonii telah mengakibatkan penderitaan bagi warga dan kerusakan lingkungan. PT GKP yang memiliki dua blok konsesi dengan luas masing-masing 958 Ha dan 850,9 Ha, telah berulang kali melakukan penyerobotan lahan yang mengakibatkan kerusakan pada tanaman perkebunan warga.
Adapun perjuangan warga mempertahankan tanah dan kebun, dihadapkan pada tindakan represif aparat yang berujung kekerasan dan kriminalisasi.
Hingga 2025, Jarinagn Advokasi Tambang (Jatam) mencatat, ada 44 warga Wawonii yang dikriminalisasi dan mendapat tindakan kekerasan dari aparat. Warga dijerat dengan berbagai pasal, mulai dari tuduhan pengrusakan, perampasan kemerdekaan, menghalangi operasi tambang, hingga pasal pencemaran nama baik menggunakan UU ITE.
Baca juga: Warga Jogo Banyu Desak DPRD DIY Libatkan Masyarakat Bahas Raperda Tambang
Operasi PT GKP juga mencemari sumber air warga. Sungai Tambo Siu-Siu di Desa Sukarela Jaya yang digunakan untuk mencuci, mandi, dan konsumsi sehari-hari, kondisinya telah berubah menjadi kuning-kecoklatan akibat pembangunan jalan hauling perusahaan. Dengan kondisi tersebut, warga terpaksa mencari sumber air lebih jauh dengan kualitas yang juga buruk. Seluruh kejahatan PT GKP ini akhirnya menimbulkan konflik antar warga yang sebelumnya hidup rukun dan damai.
Selain di Wawonii, gurita bisnis Harita Group juga mencakup pertambangan nikel, batu bara, bauksit dan industri ekstraktif lainnya di berbagai wilayah Indonesia. Di Pulau Obi, Maluku Utara, operasi Harita tidak hanya menyebabkan deforestasi hutan, pencemaran air dan udara, kriminalisasi, hingga pengusiran paksa warga dari tanah dan ruang hidupnya. Namun juga berdampak serius pada ekosistem laut dan kesehatan masyarakat pesisir.
Data internal Harita yang bocor dan dipublikasikan sejumlah media investigasi internasional dan nasional menemukan bahwa limbah tambang di Kawasi, Pulau Obi mengandung logam berat berbahaya, seperti kromium heksavalen (Cr6) dengan kadar melebihi ambang batas aman WHO/Kementerian Kesehatan. Akibatnya, ikan-ikan yang biasa dikonsumsi masyarakat kini terakumulasi logam berat beracun, berisiko bagi kesehatan manusia.
Baca juga: Longsor Banjarnegara, 18 Orang Masih Dalam Pencarian







Discussion about this post