Harmonisasi hukum adat dan hukum negara harus diletakkan dalam bingkai saling melengkapi, bukan saling menegasikan. Dengan demikian, masyarakat adat tidak lagi berada di posisi marjinal dalam sistem hukum nasional.
“Justru RUU ini bisa menjadi solusi karena selama ini banyak konflik norma yang tidak terselesaikan akibat belum adanya pengakuan terhadap masyarakat adat dan hukum adat yang mereka praktikkan,” kata Yance.
Isu investasi kerap dijadikan alasan penundaan pengesahan RUU ini. Padahal asumsi, bahwa masyarakat adat menghambat investasi sangat keliru. Resistensi masyarakat adat muncul karena selama ini investasi masuk tanpa mengakui hak mereka atas tanah, sehingga menimbulkan ketidakadilan dan konflik.
Baca juga: BNN akan Gandeng BRIN untuk Riset Ganja Medis, LBHM Sampaikan Rekomendasi
Jika pengakuan legal terhadap tanah adat dilakukan sejak awal, proses pembangunan akan berjalan lebih inklusif dan minim gesekan. Prinsip keadilan harus menjadi fondasi dalam setiap kebijakan pembangunan yang melibatkan ruang hidup masyarakat adat.
“Masyarakat adat itu tidak anti-investasi, tidak anti-pembangunan, sepanjang tidak merugikan mereka,” tegas dia.
Sebagai akademisi dan aktivis hukum, Yance berharap agar DPR dan pemerintah tidak lagi menggunakan draf lama yang sudah tidak relevan. Ia mendorong penyusunan draf baru yang lebih sesuai dengan konteks hari ini, termasuk perkembangan global dan kebutuhan lokal masyarakat adat.
Baca juga: Proyek Panas Bumi di NTT Ditolak Warga, Kementerian ESDM Gandeng UGM
Proses ini bukan hanya soal substansi, tetapi juga soal keberpihakan politik dan kesungguhan negara dalam menunaikan mandat konstitusi untuk melindungi masyarakat adat.
“Kalau pakai draf lama, persoalan ini tidak terselesaikan. Jadi perlu menyusun draf baru sesuai perkembangan di tingkat nasional dan daerah,” usul dia.
Yance menekankan pentingnya memastikan proses legislasi yang partisipatif, terutama dalam menjangkau komunitas adat yang seringkali tidak memiliki akses informasi yang memadai. Partisipasi bermakna bukan sekadar formalitas, melainkan keterlibatan aktif sejak tahap perencanaan hingga evaluasi. Pemerintah perlu mengadopsi pendekatan multibahasa dan melibatkan fasilitator lokal agar suara masyarakat adat benar-benar terwakili dalam proses legislasi.
“Ini tantangan juga bagi pemerintah untuk menjadikan pembuatan undang-undang masyarakat adat sebagai contoh baik untuk pembuatan undang-undang yang partisipatif dan sesuai kebutuhan masyarakat di berbagai tempat,” kata dia. [WLC02]
Sumber: UGM
Discussion about this post