Wanaloka.com – Panitia Kerja (Panja) Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dari Komisi IV DPR RI melakukan kunjungan kerja ke Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis, 8 Mei 2025. Kunjungan ini untuk menjaring pendapat dan masukan ilmiah dari para akademisi guna memperkaya materi penyusunan RUU Kehutanan.
“Kami ingin undang-undang ini tidak hanya bersifat normatif, tapi juga solutif dan adaptif terhadap tantangan zaman. Jadi kami datang ke UGM untuk mendengarkan langsung dari para pakar kehutanan,” ujar Wakil Ketua Komisi IV DPR RI sekaligus Ketua Panja RUU Kehutanan, Abdul Kharis Almasyhari.
Jaring pendapat itu merupakan tindak lanjut dari hasil keputusan Rapat Internal Panja pada 28 April 2025 yang menyepakati perlunya pendalaman substansi RUU melalui dialog ilmiah dengan para pakar dan akademisi.
Baca juga: Yance Arizona, RUU Masyarakat Adat Masuk Prolegnas 2025 Tapi Perlu Pembaruan Draf Lagi
UU Nomor 41 Tahun 1999 telah menjadi dasar hukum pengelolaan hutan Indonesia selama lebih dari dua dekade. Namun, dengan meningkatnya tekanan terhadap sumber daya hutan serta dinamika sosial dan hukum yang terus berkembang, menurut Abdul Kharis dibutuhkan penyempurnaan substansi regulasi agar tetap relevan dan mampu menjawab tantangan pengelolaan hutan secara berkelanjutan.
Mengingat Indonesia mengalami kehilangan hutan yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Dalam kurun waktu 50 tahun, lebih dari 33,9 juta hektar hutan telah hilang dan sebanyak 28,04 juta hektar di antaranya terjadi dalam dua dekade terakhir.
“Angka ini mencerminkan perlunya pembaruan kebijakan kehutanan yang lebih progresif dan berpihak pada kelestarian serta kesejahteraan masyarakat,” jelas dia.
Baca juga: GeoAI, Sistem Prediksi Suhu Permukaan Bumi untuk Adaptasi Iklim
Sejumlah persoalan krusial masih menjadi perhatian dalam penyelenggaraan bidang kehutanan. Salah satunya adalah degradasi dan deforestasi yang menyebabkan menurunnya daya dukung dan daya tampung hutan secara kapasitas maupun kualitas.
Selain itu, pengelolaan hutan produksi yang belum sepenuhnya menerapkan prinsip keberlanjutan melalui pendekatan agroforestri. Serta perlunya penguatan terhadap pengakuan hutan adat pasca putusan Mahkamah Konstitusi.
Abdul Kharis juga menyoroti pentingnya kejelasan data dan informasi kehutanan yang selama ini belum terintegrasi secara sistematis, sehingga menyulitkan proses inventarisasi dan pengawasan hutan. Di samping itu, belum ada ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai mekanisme penyelesaian sengketa kehutanan antara masyarakat dengan pihak-pihak yang berkepentingan, menjadi celah hukum yang perlu direspon dalam revisi undang-undang ini.
Baca juga: BMKG Catat 2024 Jadi Tahun Terpanas
RUU ini telah ditetapkan sebagai RUU Usul Inisiatif DPR RI dan masuk ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas) Tahun 2025. Oleh karena itu, proses penyusunannya harus dilakukan secara terbuka, inklusif, dan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, termasuk kalangan akademisi.
“Kami berharap, pertemuan kali ini membawa manfaat besar bagi kelestarian hutan dan masyarakat yang hidup di dalam maupun sekitar kawasan hutan. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan bimbingan dan rahmat dalam setiap langkah yang kami ambil,” harap dia.
Ada enam pakar dari Fakultas Kehutanan UGM yang menyampaikan pandangan terkait berbagai aspek revisi UU. Baik terkait pengelolaan hutan adat, redefinisi fungsi hutan, hingga pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.
Baca juga: Januari-April 2025, Pengaduan ke Ditjen Penegakan Hukum Kehutanan Capai 90 Kasus
“Diskusi tadi membuka wawasan kami lebih luas. Banyak perspektif baru yang sebelumnya belum kami pikirkan. Ini menunjukkan pentingnya dialog dengan akademisi,” lanjut dia.
Revisi UU Kehutanan menyoroti pentingnya redefinisi terhadap hutan adat dan penyesuaian dengan perkembangan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Pemerintah juga didorong memperkuat inventarisasi hutan berbasis teknologi digital dan integrasi data terpadu.
Ke depan, fungsi hutan tidak lagi diukur hanya dari potensi kayu, tetapi juga kontribusinya dalam penyimpanan karbon, konservasi biodiversitas, dan jasa lingkungan lainnya.
Baca juga: BNN akan Gandeng BRIN untuk Riset Ganja Medis, LBHM Sampaikan Rekomendasi
Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Prof. Sigit Sunarta menekankan penyusunan regulasi kehutanan harus melibatkan suara dari berbagai perguruan tinggi kehutanan di Indonesia.
“Kami bersama-sama memikirkan sesuatu yang sangat fundamental, yaitu arah pengelolaan hutan Indonesia ke depan,” kata Sigit.
Menurut dia, keberadaan hutan adat harus ditempatkan secara proporsional dan tidak lagi disamakan dengan hutan negara. Hutan adat memerlukan pendekatan berbasis kearifan lokal serta pengakuan terhadap hak masyarakat hukum adat.
Baca juga: Proyek Panas Bumi di NTT Ditolak Warga, Kementerian ESDM Gandeng UGM
Sigit juga menekankan pentingnya membuka cakrawala pengelolaan kehutanan terhadap sumber daya non-kayu.
“Ada potensi luar biasa dari hasil hutan bukan kayu, seperti energi, air, dan jasa lingkungan lainnya. Ini harus diatur dan dijaga keberlanjutannya,” ujar dia.
Ia berharap revisi undang-undang ini tidak hanya bersifat legalistik, tetapi mampu menjawab kebutuhan riil di lapangan.
Baca juga: Masih Satu Juta Kubik Abu Gunung Marapi, Kementerian PU Bangun 9 Sabo Dam
“Undang-undang yang lahir nanti harus merupakan hasil dari proses yang inklusif, ilmiah, dan menjawab kebutuhan rakyat serta lingkungan secara seimbang,” imbuh Sigit.
Anggota Komisi IV DPR, Darori Wonodipuro menjanjikan RUU ini terbuka dengan mengirim naskahnya ke perguruan tinggi untuk dikoreksi para pakar sebelum disahkan.
“Jangan sampai nanti sudah jadi undang-undang malah digugat ke MK,” ujar dia.
Baca juga: Madu Klanceng Lebih Aman Bagi Penderita Diabetes
Target jangka pendek Panja Komisi IV adalah menyelesaikan pembahasan RUU ini dalam masa sidang berikutnya, dengan substansi yang kuat, pro-rakyat, dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Sedangkan target jangka panjang, undang-undang ini diharapkan dapat memperbaiki sistem pengelolaan kehutanan secara berkelanjutan dan inklusif.
“Undang-undang ini harus mampu mewujudkan dua hal utama, yaitu hutan lestari dan rakyat sejahtera. Itu prinsip yang tidak boleh berubah,” janji Darori.
Reformasi total pengelolaan kehutanan
Darori Wonodipuro menekankan pentingnya pembenahan menyeluruh dalam pengelolaan kehutanan nasional melalui revisi UU Kehutanan. Ia menyoroti sejumlah persoalan mendasar dalam kebijakan kehutanan, mulai dari kelemahan dalam mekanisme penetapan hutan adat, alih fungsi kawasan yang tidak terkendali, hingga absennya sistem konservasi yang efektif.
Discussion about this post