Klasifikasi ini penting karena menunjukkan wilayah Papua Barat merupakan pusat evolusi bagi kelompok ini. Berbeda dari spesies yang ada di Australia atau Papua Nugini. Tiap-tiap spesies memiliki ciri khas, baik dari warna tubuh, bentuk capit (chelae), maupun struktur rostrumnya. Ciri morfologis ini menjadi petunjuk penting dalam membedakan spesies baru dari kerabat dekatnya.
Baca juga: Nimmi Zulbainarni, Penambangan Raja Ampat Abaikan Valuasi Ekonomi untuk Keberlanjutan Alam
“Misalnya Cherax arguni memiliki tubuh dominan biru gelap dengan belang krem, serta capit dengan patch putih transparan yang khas,” kata Rury sambil menunjukkan foto spesimen.
Hasil filogeni molekuler menunjukkan Cherax arguni merupakan kerabat dekat Cherax bomberai, dengan jarak genetik yang cukup signifikan untuk diklasifikasikan sebagai spesies tersendiri. Analisis ini dilakukan dengan metode Bayesian dan Maximum Likelihood menggunakan data DNA mitokondria.
Penanda genetik ini menjadi landasan utama dalam menentukan batas antarspesies secara objektif. Temuan ini memperkuat pentingnya pendekatan genetik dalam taksonomi modern, terutama di wilayah tropis yang biodiversitasnya sangat tinggi.
Baca juga: Sorbatua Siallagan Bebas, AMAN Harap MA Konsisten Adili Perkara Serupa
“Perbedaan pada sekuens DNA mitokondria bisa mencapai 11 persen yang menunjukkan ada isolasi evolusioner yang cukup lama,” ujar Rury.
Penemuan ini sekaligus menunjukkan urgensi konservasi spesies air tawar di Papua yang rentan terhadap eksploitasi dan degradasi habitat. Banyak dari spesies ini hidup di sungai kecil dan anak-anak sungai yang belum banyak terpetakan secara ekologis.
Beberapa di antaranya bahkan baru diketahui dari satu titik lokasi, membuatnya sangat rentan terhadap perubahan lingkungan sekecil apapun. Lokasi asal spesimen tidak sepenuhnya diungkap dalam publikasi demi menjaga kelestarian populasi alami.
Baca juga: Bayu Eka Yulian, Negara Harus Jujur Pertambangan di Pulau Kecil Langgar UU dan Hak Masyarakat Adat
Ke depan, riset lanjutan dan pemetaan sebaran spesies akan sangat diperlukan untuk mendukung kebijakan konservasi yang berbasis data.
“Kami harus menjaga keseimbangan antara eksplorasi ilmiah dan perlindungan habitat, apalagi banyak dari spesies ini hidup di wilayah yang mulai terjamah aktivitas manusia,” imbuh dia.
Dengan publikasi di jurnal bereputasi tinggi, UGM memperlihatkan komitmen terhadap riset yang berpihak pada pelestarian lingkungan dan penguatan basis data biodiversitas nasional.
“Kami percaya bahwa sains yang kuat harus berakar pada pemahaman lokal, demi masa depan yang lebih lestari,” pungkas dia. [WLC02]
Sumber: UGM
Discussion about this post