“Kalau suatu wilayah memang tidak memiliki daya dukung untuk dijadikan permukiman, ya jangan dijadikan zona permukiman. Jangan hanya karena sudah ada sertifikat tanah, langsung dibangun rumah tanpa memperhatikan aspek lanskapnya,” ujar dia.
Baca juga: Biandro Wisnuyana, Kecerdasan Buatan Jadi Pisau Bermata Dua Bagi Masyarakat Adat
Ia mengingatkan, lanskap adalah sistem hidup yang saling terhubung. Masyarakat harus menyadari bahwa membangun rumah berarti juga berinteraksi dengan air, matahari, angin, dan karakter fisik tanah sekitarnya.
Menanggapi kondisi permukiman yang sudah telanjur dibangun di lokasi tidak layak, Akhmad menjelaskan ada dua pendekatan. Jika masalahnya mayor, seperti topografi ekstrem atau berada di jalur air, maka lokasi itu sebaiknya dikembalikan sebagai kawasan lindung.
“Misalnya daerah banjir yang memang jadi tempat berkumpul air, ya solusinya harus dikembalikan jadi hutan. Kalau tidak, biaya modifikasi dan manajemen lanskapnya akan sangat mahal,” terang dia.
Baca juga: Kementerian Kehutanan Targetkan Penetapan 100 Ribu Ha Hutan Adat 2025
Namun, jika masalahnya minor, maka solusi masih bisa dilakukan melalui rekayasa lanskap seperti penambahan tanah atau pengaturan drainase skala kecil.
Pemerintah penting menyusun tata ruang berdasarkan data yang valid dan terbuka untuk publik. Masyarakat juga diimbau tidak melanggar ketentuan tata ruang yang sudah ditetapkan.
“Undang-undang tata ruang sudah mengatur sanksi bagi pelanggar. Maka mari sama-sama patuh, demi kenyamanan dan keberlanjutan lingkungan hidup,” kata dia. [WLC02]
Sumber: IPB University







Discussion about this post