Wanaloka.com – Anggota Komisi VI DPR RI Mufti Anam mengingatkan pemerintah untuk mengevaluasi sistem penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) agar aktivitas tambang tidak melanggar aturan seperti yang terjadi di Raja Ampat. Ia tidak ingin aktivitas tambang merusak ekosistem lingkungan hidup dan kemakmuran masyarakat setempat.
“Kejadian di Raja Ampat bisa menjadi pembelajaran bagi pemerintah untuk tidak ugal-ugalan menerbitkan izin tambang. Jangan sampai pemerintah menjadi makelar tambang,” ucap Mufti melalui rilis media, Kamis, 12 Juni 2025.
Sebagaimana yang diketahui, Raja Ampat memiliki mega keanekaragaman hayati yang merupakan habitat bagi ratusan jenis flora dan fauna yang unik, langka, dan terancam punah. Jika aktivitas tambang dibiarkan beroperasi di kawasan tersebut, maka berpotensi merusak secara masif ekosistem hayati yang ada di sana.
Baca juga: Tak Semua Izin Tambang di Raja Ampat Dicabut, Walhi Sebut Pemerintah Setengah Hati
“Yang digali bukan cuma tambang, tapi harga diri kita sebagai bangsa. Raja Ampat bukan untuk ditambang, tapi untuk dijaga. Pemerintah yang membiarkan tambang masuk ke sana, sama saja dengan menghancurkan masa depan anak cucu kita,” tutur dia.
Mufti pun mengingatkan penambangan di pulau-pulau kecil di Raja Ampat tak hanya merusak ekosistem hayati, namun juga bertentangan dengan UU Nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jo UU No 27 tahun 2007 yang melarang aktivitas pertambangan di pulau yang luasnya kurang dari 2.000 km2.
Berangkat dari pernyataan ini, ia mempertanyakan proses penerbitan izin tambang di Raja Ampat yang mayoritas merupakan wilayah konservasi. Apalagi sebagian tambang berdekatan dengan Pulau Piaynemo, yang dikenal sebagai destinasi wisata utama di Raja Ampat.
Baca juga: Enam Temuan Baru Greenpeace Ungkap Rencana Besar Industri Nikel di Raja Ampat
Bahkan Peraturan Daerah Kabupaten Raja Ampat Nomor 3 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) justru menetapkan beberapa pulau kecil sebagai kawasan pertambangan.
“Kok bisa-bisanya, ini sangat bertentangan dengan UU,” jelas dia.
Ia pun menyoroti respons sejumlah pejabat yang terkesan membela aktivitas tambang. Bahkan kemudian lalu muncul narasi-narasi yang bertentangan dengan suara masyarakat asli Papua.
Ia mengatakan Raja Ampat merupakan kawasan konservasi dan pariwisata kelas dunia, bukan zona industri ekstraktif. Dengan begitu, tidak masuk akal jika muncul izin-izin pertambangan di kawasan Raja Ampat.
Baca juga: Tim Ekspedisi Sulawesi Temukan Katak Terbang yang Hilang Satu Abad
“Sudah cukup hutan habis, laut rusak, masyarakat adat digusur. Kita tidak boleh menggadaikan alam yang akan menjadi modal kehidupan masa depan,” sebut Mufti.
Ia berharap pemerintah tegas menutup izin tambang bermasalah karena terkait dengan komitmen perlindungan terhadap lingkungan, dan integritas dalam menjalankan hukum.
“Kalau negara ini masih waras, memang sudah seharusnya aktivitas tambang bermasalah di Raja Ampat dihentikan. Raja Ampat harus dilindungi, bukan dirusak. Dengarkan suara rakyat, bukan hanya suara pemilik modal. Jangan jual surga dunia yang ada di Indonesia ke pengeruk keuntungan yang menyebabkan lingkungan rusak dan rakyat menderita,” tegas Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu.
Baca juga: Tanggul Laut Masih Jadi Solusi Pemerintah Atasi Rob di Pesisir Utara Jawa
Jangan korbankan Raja Ampat demi hilirisasi nikel
Sementara Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty menyoroti potensi kerusakan terumbu karang akibat lalu lintas tongkang pengangkut nikel. Evita mengingatkan agar Pemerintah tidak mengorbankan pariwisata strategis demi perwujudan hilirisasi yang timpang.
Discussion about this post