“Banjir kemarin, kemungkinan volume yang biasa terjadi sekian puluhan tahunan. Jadi ada anomali curah hujan yang sangat besar,” tutur Heri.
Di sisi lain, Heri mencontohkan sejumlah kota di negara lain, seperti Jepang, Amerika Serikat, Cina, Thailand, hingga Filipina yang sudah menerapkan infiltrasi yang sangat baik apabila terjadi siklus banjir tertentu.
Baca Juga: Usai Status Awas, Gunung Lewotobi Laki-laki Erupsi Setinggi 2 Km
“Di Jepang misalnya, infiltrasinya dibuat bagus, kapasitasnya dibuat sangat besar. Kiri kanan sungai dapat menampung seandainya ada banjir,” ujar dia.
Di pinggiran sungai di Jepang, ketika hujannya kecil, lokasi tersebut dapat menjadi area bermain hingga fasilitas olahraga. Ketika curah hujan tinggi, area tersebut menjadi daya tampung banjir. Solusi lain, seperti katedral bawah tanah yang dibangun di bawah infrastruktur gedung-gedung untuk daya tampung air yang sangat luar biasa.
Adapun di Hongkong dengan kota yang padat menerapkan penanganan banjir dengan underground tunnel, yakni pembesaran gorong-gorong di bawah tanah menjadi opsi lain dari aliran sungai.
Baca Juga: Status Gunung Marapi Naik Level Siaga, Waspadai Gas Beracun
Heri menilai perlu rencana strategi (renstra) dari pemerintah untuk jangka waktu panjang, misalnya 20 tahun ke depan untuk penanganan banjir. Ia juga menekankan perlunya ada lembaga khusus yang fokus untuk penanganan banjir.
“Seharusnya perlu lembaga khusus yang fokus terhadap banjir. Tapi belum ada pihak yang fokus dan bertanggung jawab untuk menangani banjir,” kata Heri.
Bahkan sekadar koordinasi antar lembaga maupun lembaga yang benar-benar berdedikasi untuk urusan banjir secara khusus, belum ada. Di sisi lain, upaya lebih perlu dilakukan untuk mempersiapkan daya tampung dan menambah infiltrasi. Misalnya program biopori ditingkatkan, normalisasi, naturalisasi digiatkan.
“Karena perlu waktu panjang, jadi perlu investasi lebih tinggi untuk mengurangi kerugian yang lebih besar dari banjir,” kata Heri. [WLC02]
Discussion about this post