Ia juga mengkritisi argumen pertumbuhan ekonomi yang sering dipakai untuk membenarkan aktivitas tambang di pulau kecil.
“Kalau kita hanya mengejar angka pertumbuhan ekonomi dan Pendapatan Asli Daerah (PAD), tanpa menghitung biaya kerusakan lingkungan, maka eksternalitas negatif jangka panjang jauh lebih besar dari keuntungan sesaat,” kata dia.
Baca juga: Dokumen Second NDC Disusun, Menhut Minta Lebih Realistis dan Teknokratis
Ia menyerukan agar negara bersikap tegas dan konsisten terhadap peraturan yang sudah dibuat sendiri.
“Jangan sampai negara justru melegalkan kerusakan dengan dalih pertumbuhan ekonomi. Kita harus jujur bahwa pertambangan di pulau kecil adalah bentuk pelanggaran terhadap undang-undang dan hak masyarakat adat,” tegas dia.
Lebih lanjut, ia juga mengatakan bahwa tata ruang terpadu perlu dijadikan dasar utama dalam pembangunan nasional dan perlindungan lingkungan hidup.
Baca juga: Maryati Surya, Tupai dan Bajing Itu Tak Sama
“Jika kita mau menambang, hal pertama yang harus dipastikan adalah tidak melanggar tata ruang,” kata dia.
Indonesia harus segera menerapkan kebijakan satu peta (one map policy) secara sungguh-sungguh, yang menjadi rujukan seluruh kementerian dan lembaga terkait. Selama ini, peta yang dijadikan dasar dalam mengambil kebijakan itu sering kali tidak selaras. Tiap-tiap sektor punya peta sesuai kepentingannya.
Peristiwa di Raja Ampat, menurut Bayu, hanyalah ‘puncak gunung es’. Ia mendesak evaluasi total terhadap seluruh izin tambang di pulau-pulau kecil Indonesia, termasuk di Kalimantan dan Sulawesi.
“Kita perlu menjadikan momentum ini sebagai refleksi nasional. Jangan sampai sawah subur berubah jadi pabrik, dan pulau kecil yang rentan malah ditambang,” pesan dia tegas. [WLC02]
Sumber: IPB University
Discussion about this post