Wanaloka.com – Anak Krakatau meletus sembilan kali pada 4 Februari 2022 lalu. Ketinggian kolom abu mencapai 800-1.000 meter di atas puncak. Warna kolom kelabu-hitam dan tebal. Status gunungapi berada di level II atau waspada.
“Kami mengimbau masyarakat untuk tidak mendekati Gunung Anak Krakatau dalam radius 2 kilometer dari kawah aktif,” kata Kepala Badan Geologi, Kementerian ESDM Eko Budi Lelono saat mengumumkan kawasan rawan bencana Gunung Anak Krakatau.
Secara historis, potensi bahaya longsoran tubuh gunungapi itu merupakan ancaman bahaya permanen yang perlu selalu diwaspadai dan diantisipasi. Terutama oleh instansi yang berwenang dalam menyampaikan peringatan dini (early warning system/EWS) bahaya ikutan gunungapi seperti tsunami.
Baca Juga: Erupsi Gunung Anak Krakatau, BNPB Tegaskan Video yang Beredar Tahun 2018
Mengingat longsoran tubuh gunungapi tidak dapat diprediksi waktu kejadian dan volumenya. Juga tidak bergantung pada kondisi gunungapi sedang mengalami erupsi maupun tidak.
“Longsoran tubuh gunungapi dapat terjadi dengan atau tanpa diawali peningkatan aktivitas gunungapi,” kata Eko mengingatkan.
Persoalannya, kawasan gunungapi memiliki sumber daya yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dan masyarakat. Semisal untuk destinasi wisata maupun kawasan pertanian karena lahannya subur. Mau tak mau, masyarakat di sana sangat rentan terhadap ancaman erupsi gunung api. Sejumlah catatan menunjukkan, beberapa erupsi gunung api memakan korban jiwa. Juga berdampak pada terganggunya aspek ekonomi dan sosial masyarakat, serta rusaknya sarana prasarana dan hasil pembangunan lain.
“Ini tantangan dan komitmen kami untuk terus meningkatkan pelayanan mitigasi bencana gunungapi. Agar korban jiwa dan kerusakan hasil pembangunan berkurang,” jelas Eko saat membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Gunung Api Tahun 2022 dalam siaran pers yang dilansir dari laman esdm.go.id, Kamis, 3 Februari 2022.
Baca Juga: Kawasan Rawan Bencana Gunung Api Semeru Bertambah Menjadi 80,43 Hektare
Ada empat unsur tugas Badan Geologi dalam peringatan dini gunungapi. Meliputi sistem pemantauan dan peringatan serta sistem komunikasi dan diseminasi informasi. Keduanya harus berkolaborasi dengan kementerian atau lembaga lain agar mendapatkan hasil yang optimal. Kemudian unsur pengetahuan risiko dan kemampuan respon masyarakat yang merupakan tugas kolektif dari para stakeholder.
Kepala PVMBG sekaligus Ketua Panitia Rakernas Andiani menjelaskan Rakernas Gunung Api Tahun 2022 mengusung tema Penguatan Sistem Peringatan Dini Gunung Api. Tujuannya adalah untuk memperoleh masukan, saran, dan pendapat dari para stakeholder.
“Agar dapat menjadi bahan perbaikan, sekaligus penguatan sistem peringatan dini gunungapi di masa datang,” terang Andiani.
Sirine peringatan dini dan paling akhir
Gunung Anak Krakatau adalah satu contoh dari 127 gunungapi aktif yang ada di Indonesia. Sebanyak 69 gunung di antaranya dipantau secara intensif melalui 73 pos pengamatan gunung api. Jumlah tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah gunung api aktif terbanyak.
Semula, tujuan dari early warning system (EWS) atau sistem peringatan dini saat terjadi bencana erupsi gunungapi adalah masyarakat dapat segera menyelamatkan diri dari bahaya.
“Tapi EWS juga dapat diartikan sebagai peringatan paling akhir bahaya erupsi gunung api,” ungkap Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Hanik Humaida yng dilansir dari laman esdm.go.id, Minggu, 6 Februari 2022.
Ia mencontohkan, Gunung Merapi memiliki EWS berupa sirine. Meliputi 3 sirine yang bisa dikendalikan jarak jauh dari kantor BPPTKG dan 3 sirine lain yang harus dinyalakan secara manual di pos pengamatan Gunung Merapi. Sirine dinyalakan hanya dalam kondisi darurat.
“Pada 25 Oktober 2010 lalu, sirine dibunyikan ketika status Gunung Merapi menjadi awas. Juga ketika terjadi fenomena awan panas besar,” terang Hanik.
Baca Juga: 40 LSM Komitmen Bangun Huntara untuk Warga Relokasi Gunung Semeru
Kelebihan dari sirine sebagai EWS adalah unggul dalam hal kecepatan, karena langsung memberikan pesan “bahaya” kepada masyarakat ketika berbunyi. Di sisi lain, sirine juga memiliki kelemahan saat terjadi awan panas yang memiliki kecepatan luncuran mencapai 100 kilometer per jam.
“Hanya dalam 3 menit awan panas dapat menjangkau 5 kilometer,” jelas Hanik.
Menurut Hanik, hal yang utama dalam mitigasi bencana adalah menyiapkan masyarakat agar mampu memberikan respon terhadap EWS secara cepat dan tepat.
“Kita harus memberikan pemahaman kepada masyarakat apa saja sumber ancaman dari bencana gunung api, patuhi Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB). Jika ada peringatan dini, maka sudah menjadi suatu perilaku atau budaya. Secara otomatis masyarakat bisa menyelamatkan diri,” kata Hanik.
Discussion about this post