Wanaloka.com – Sekretaris Jenderal World Meteorological Organization (WMO), Petteri Taalas mengingatkan kondisi iklim global dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir telah berubah drastis. Iklim menjadi lebih panas karena efek gas rumah kaca. Perubahan iklim global mengakibatkan peristiwa ekstrem di berbagai belahan dunia sering terjadi. Pada Juni 2021 terjadi gelombang panas di Pasifik Barat Laut dan pada Juli 2021 terjadi banjir di Jerman yang lebih sering dari biasanya.
“Pada tahun 2030, kami melihat dunia dimana semua negara, terutama negara yang paling rentan, lebih tahan terhadap sosial ekonomi konsekuensi dari cuaca ekstrem, iklim, air dan peristiwa lingkungan lainnya. Serta mendukung mereka dalam pembangunan berkelanjutan melalui jasa, baik di darat, di laut atau di udara,” papar Taalas menyampaikan visi World Meteorogical Organization (WMO) terhadap isu perubahan iklim global dalam Perayaan Puncak World Meteorological Day 2022 di Jenewa bertema Early Warning and Early Action: Hydrometeorological and Climate Information for Disaster Risk Reduction yang berlangsung secara virtual pada 23 Maret 2022.
Baca Juga: Ini Sumber Gempa Bukittinggi, Lindu Tahun 1926 Ratusan Orang Meninggal Dunia
Bagaimana dengan Indonesia?
Taalas menilai kinerja Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam upaya penguatan sistem peringatan dini multi bencana. BMKG dinilai mampu memobilisasi berbagai disipilin keahlian untuk berkontribusi pada perlindungan dan kesiapsiagaan negara terhadap peristiwa berbahaya termasuk badai dan banjir, bahaya laut dan pesisir, gempa bumi dan letusan gunung berapi.
“BMKG adalah contoh yang sangat baik dalam memberikan peringatan dini multi-bahaya dan prakiraan berbasis dampak,” ujar Taalas.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati mengakui perubahan iklim global turut berdampak di Indonesia dimana secara geografis berada di antara dua samudera, yaitu Hindia dan Pasifik dan dua benua, yaitu Asia dan Australia. Juga memiliki topografi yang kompleks menjadikan Indonesia rentan terhadap bencana multi hidrometeorologi.
Baca Juga: Gempa Bukittinggi Magnitudo 4,5 Berpusat di Darat
“Jadi kami terus melakukan upaya peningkatan sistem peringatan dini untuk mengantisipasi bencana yang terjadi di Indonesia,” kata Dwikorita.
Upaya yang dilakukan BMKG agar sistem peringatan dini bencana lebih optimal adalah melalui sinergi pentahelix dengan berkolaborasi antara pemerintah, komunitas, akademisi, sektor usaha, dan awak media.
“Tantangan sebenarnya, bagaimana memastikan pesan peringatan dini dapat diterima hingga lapisan paling bawah. Bukan hanya itu, pesan peringatan dini juga harus dapat dimengerti dan ditanggapi dengan tepat. Ini merupakan pekerjaan rumah untuk bekerja lebih keras agar upaya tersebut makin efektif,” lanjut Dwikorita.
Indonesia Butuh 9 Satelit untuk Deteksi Dini Bencana
Deputi Instrumentasi, Kalibrasi, Rekayasa dan Jaringan Komunikasi BMKG Muhamad Sadly menyebut Indonesia membutuhkan setidaknya sembilan satelit untuk bisa meningkatkan deteksi dini bencana secara akurat, cepat dan tepat. Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki satelit operasional indera jarak jauh (inderaja) yang melakukan pemantauan wilayah NKRI yang sangat luas. Kebutuhan minimal 9 satelit agar tidak ada informasi peringatan dini yang terlambat disampaikan kepada otoritas terkait dan masyarakat.
“Kami memerlukan 9 satelit untuk melakukan orbital dan tanpa jeda. Kalau hanya satu satelit, kami butuh 100 menit jeda sehingga tidak bisa dipakai untuk peringatan dini bencana,” kata Sadly dalam kuliah umum daring Peringatan Hari Meteorologi Dunia ke-72 “Rancang Bangun Satelit Operasional Penginderaan Jauh dalam Rangka Peringatan Dini dan Aksi Dini Bencana Hidrometeorologi dan Gempabumi”.
Baca Juga: Longsor di Cilacap, 177 Warga Desa Kutabima Mengungsi
Kehadiran 9 satelit untuk mengorbit pada 2024 agar tidak ada jeda itu sudah direncanakan. Mengingaat sangat sulit memantau Indonesia dengan patroli pesawat terbang atau piranti terbang nirawak secara terus menerus di wilayah yang sangat luas karena akan menguras sumber daya manusia dan biaya.
“Tidak mungkin kami melakukan ‘air borne’ yang sangat mahal jatuhnya. Kami butuh satelit untuk monitoring secara berkelanjutan,” kata Sadly.
Mengingat Indonesia memiliki ancaman bencana kompleks, mulai dari banjir, longsor, erupsi, gempa dan tsunami. Upaya pencegahan dan mitigasi multibencana tersebut tidak bisa ditangani dengan cara biasa. Harus ada terobosan, salah satunya lewat satelit pemantauan.
“Salah satu teknologi yang perlu kami akslerasi, diimplementasikan di Indonesia adalah bagaimana memiliki satelit inderaja untuk kebencanaan. Saya pikir ini tidak terlalu sulit kalau kita bersatu,” imbuh Sadly.
Upaya mewujudkan cita-cita tersebut melalui sinergi dan koordinasi dalam menyiapkan alokasi anggaran bersama untuk digunakan secara bersama menanggulangi bencana-bencana di Tanah Air yang semakin meningkat.
Baca Juga: Badan Geologi Turunkan Level Gunung Sirung di NTT ke Normal
Jika tidak menggunakan satelit, maka deteksi dini bencana akan sangat lama. Apalagi saat bencana terjadi acapkali potensi sejumlah infrastruktur di permukaan bumi, seperti listrik dan telekomunikasi lumpuh. Alat komunikasi berbasis handphone dan sebagainya tak bsia digunakan, seperti ketika terjadi gempa besar di Palu. Hanya dengan satelit segala kendala telekomunikasi dapat diatasi sehingga mitigasi bencana dapat dilakukan secara seksama sehingga mampu menekan munculnya korban.
“Bagaimana masyarakat bisa menyelamatkan diri kalau tidak ada komunikasi andal? Jadi diperlukan satelit berbasis komunikasi yang bisa digunakan saat terjadi gempa yang sangat kuat sekali, sehingga masyarakat bisa mendapat informasi untuk menyelamatkan diri,” papar Sadly.
Discussion about this post