Minggu, 13 Juli 2025
wanaloka.com
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video
No Result
View All Result
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video
No Result
View All Result
wanaloka.com
No Result
View All Result
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video

Catatan Hari Meteorologi Dunia 2022: Indonesia Belum Punya Satelit Deteksi Dini Bencana

Indonesia dikenal sebagai negara dalam pusaran ring of fire. Juga beragam bencana terjadi di Tanah Air. Perubahan iklim global membuat Indonesia rentan bencana. Ada kebutuhan yang mendesak agar deteksi dini bencana dan antisipasi korban berjatuhan lebih banyak dapat dicegah. Apakah itu?

Selasa, 5 April 2022
A A
Ilustrasi satelit yang mengorbit di atas bumi. Foto ID 12019/pixabay.com.

Ilustrasi satelit yang mengorbit di atas bumi. Foto ID 12019/pixabay.com.

Share on FacebookShare on Twitter

Ahli satelit asal Indonesia yang kini bekerja di Chiba University (Jepang), Prof. Josaphat Tetuko Sri Sumantyo mengatakan dalam membuat satelit memerlukan proses yang panjang guna mendapatkan ide dan membangun modelnya.

Pembangunan satelit perlu membuat sensor “remote sensing”, dites di laboratorium, dilakukan uji terbang dengan pesawat, dibangun, baru kemudian diluncurkan ke orbit bumi.

Baca Juga: Longsor di Cilacap, Desa Kutabima Terisolir dan 3 Rumah Tertimbun

Dalam mendeteksi bencana tidak bisa hanya mengandalkan sensor yang dipasang di permukaan bumi karena tingkat akurasinya akan kalah dibandingkan tanpa kolaborasi menggunakan satelit.

“Kami perlu data akurat dalam mendeteksi bencana, tidak bisa sekadar mendeteksi bencana dengan sensor optik. Dalam setahun, ada hari benar-benar cerah kurang dari 3 bulan. Kalau pakai sensor dan pakai info permukaan tanah dan distribusi tanah untuk prediksi bencana. kurang akurat,” papar Josaphat.

Dengan satelit yang memadai, Indonesia bisa memantau keadaan permukaan bumi secara waktu nyata. “Kami bisa memantau secara realtime. Memantau angin topan kan tidak mungkin dengan menerbangkan pesawat,” kata dia.

Masyarakat Tangguh Hadapi Bencana dengan Sekolah Lapang

BMKG juga memiliki sejumlah program literasi yang menyasar peningkatan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi multibencana di Indonesia. Sejumlah program tersebut di antaranya Sekolah Lapang Iklim (SLI), Sekolah Lapang Cuaca Nelayan (SLCN), dan Sekolah Lapang Gempa Bumi (SLG).

Baca Juga: 478 Keluarga Relokasi Semeru Akan Huni Huntap dan Huntara Sebelum Lebaran

“Sekolah lapang ini tidak sekadar menghasilkan produktivitas yang tangguh, untuk ketahanan pangan. Tapi ketahanan kehidupan manusia,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.

Sekolah lapang merupakan bentuk tanggung jawab dalam membangun kesadaran publik dan pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan pemanfaatan informasi cuaca, iklim dan gempa bumi.

Mari kita simak penjelasan Dwikorita soal tiga sekolah lapang tersebut. Pertama, SLI merupakan program literasi menyasar para pelaku sektor pertanian terutama di tataran akar rumput. SLI telah melatih lebih dari 15 ribu peserta terkait dengan sektor pertanian dan sektor lainnya dalam 10 tahun terakhir.

Program SLI memberikan literasi iklim berbasis pembelajaran modul dan mengawal penerapannya di sektor pertanian selama satu musim tanam pada komoditas tertentu. Materi diberikan berbasis kebutuhan riil informasi iklim dan kasus yang terjadi di lapangan.

Baca Juga: Letusan Gunung Ibu Setinggi 1 Kilometer, Ini Erupsi ke Delapan Bulan Ini

Erupsi ketiga Gunung Anak Krakatau pada Jumat, 25 Maret 2022, pukul 08.09 WIB. Foto magma.esdm.go.id.
Erupsi ketiga Gunung Anak Krakatau pada Jumat, 25 Maret 2022, pukul 08.09 WIB. Foto magma.esdm.go.id.

“SLI terbukti berhasil meningkatkan kapasitas pemahaman informasi cuaca dan iklim lebih dari 15 ribu peserta. Secara umum, SLI berkontribusi meningkatkan produktivitas pertanian rata rata 20-30 persen,” kata dia.

Kedua, di sektor kelautan dan wilayah pesisir, BMKG mengembangkan Sekolah Lapang Cuaca Nelayan (SLCN). SLCN merupakan literasi informasi cuaca dan iklim dengan target masyarakat nelayan dan pesisir yang rentan terhadap kejadian cuaca ekstrim dan perubahan iklim.

SLCN bertujuan meningkatkan pemahaman nelayan dan penyuluh perikanan terhadap informasi cuaca dan iklim BMKG serta pemanfaatannya dalam meningkatkan keselamatan dan kesejahteraan aktivitas masyarakat di laut dan wilayah pesisir.

Ketiga, BMKG juga hadir memberikan edukasi mengenai informasi gempabumi dan tsunami melalui Sekolah Lapang Gempa Bumi (SLG). Lewat SLG, BMKG memberikan informasi mengenai potensi bahaya gempabumi dan tsunami di daerah pelaksanaan. Sejak 2021, pelaksanaan Workshop SLG berfokus pada edukasi gempabumi dan tsunami. Sekaligus menjadi wadah BMKG bersama masyarakat atau komunitas untuk membentuk Masyarakat Siaga Tsunami (Tsunami Ready Community).

Baca Juga: Lailan Syaufina: Kebakaran Hutan dan Lahan Menurun Tajam, Diduga Akibat Covid-19

Pelaksanaan SLG 2021 telah menghasilkan tujuh masyarakat siaga tsunami yang telah diakui secara nasional dan sedang dalam proses pengakuan internasional dari UNESCO.

Pada pelaksanaan workshop SLG, BMKG juga membantu pemerintah daerah dengan memberikan Peta Bahaya Tsunami di lokasi pelaksanaan. Tujuannya agar jadi acuan pemerintah daerah dalam menyusun mitigasi gempabumi dan tsunami di daerahnya.

“Sebagai jantung wilayah tropis dan termasuk dalam gugusan ring of fire, Indonesia memiliki potensi risiko tinggi terhadap ancaman kejadian bencana hidrometeorologi dan gempa bumi. Penyediaan informasi cuaca, iklim dan gempa bumi yang disertai dengan kemampuan masyarakat pengguna dalam memahami dan menerapkannya dalam kehidupan diyakini dapat meminimalisir potensi kerugian dan kehilangan dampak bencana tersebut,” papar Dwikorita. [WLC02]

Sumber: bmkg.go.id

Terkait

Page 2 of 2
Prev12
Tags: BMKGdeteksi dini bencanaHari Meteorologi Duniaperubahan iklimsatelitsatelit operasional indera jarak jauhWMOWorld Meteorogical Organization WikiImages

Editor

Next Post
Gempa Yogyakarta dengan magnitudo M4,5 terjadi di wilayah Kabupaten Gunungkidul, pada Rabu, 6 April 2022. Foto bmkg.go.id.

Analisis Gempa Yogyakarta 4,5 Magnitudo, Daryono: Patut Disyukuri Belum Ada Laporan Kerusakan

Discussion about this post

TERKINI

  • WHO Goodwill Ambassador for Leprosy Elimination, Yohei Sasakawa dan Menkes Budi Gunadi Sadikin berkunjung ke Sampang, Madura dalam program eliminasi kusta, 8 Juli 2025. Foto Dok. Kemenkes.Kusta Bukan Penyakit Kutukan, Kusta Bisa Disembuhkan
    In Rehat
    Kamis, 10 Juli 2025
  • Destinasi wisata di Danau Toba, Sumatra Utara. Foto Dok. Kemenpar.Konferensi Internasional Jadi Upaya Geopark Kaldera Toba Raih Kembali Green Card UNESCO
    In Traveling
    Kamis, 10 Juli 2025
  • Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, Prof Dietriech G Bengen. Foto Dok. Alumni IPB.Dietriech Geoffrey, Merkuri Masuk ke Perairan Lewat Limbah Industri hingga Keramba Jaring Apung
    In Sosok
    Rabu, 9 Juli 2025
  • Suasana konferensi pers soal gugatan SLAPP terhadap dua Guru Besar IPB University oleh PT KLM di YLBHI, 8 Juli 2025. Foto YLBHI.Bambang Hero dan Basuki Wasis Tak Gentar Hadapi Gugatan SLAPP Perusak Lingkungan di Pengadilan Cibinong
    In News
    Rabu, 9 Juli 2025
  • Pertemuan International Leprosy Congress (ILC) di Nusa Dua, Bali pada 7 Juli 2025. Foto Dok. Kemenkes.Menteri Kesehatan Janjikan Nol Kusta, Nol Disabilitas, Nol Stigma
    In News
    Selasa, 8 Juli 2025
wanaloka.com

©2025 Wanaloka Media

  • Tentang
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

No Result
View All Result
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video

©2025 Wanaloka Media