Ahli satelit asal Indonesia yang kini bekerja di Chiba University (Jepang), Prof. Josaphat Tetuko Sri Sumantyo mengatakan dalam membuat satelit memerlukan proses yang panjang guna mendapatkan ide dan membangun modelnya.
Pembangunan satelit perlu membuat sensor “remote sensing”, dites di laboratorium, dilakukan uji terbang dengan pesawat, dibangun, baru kemudian diluncurkan ke orbit bumi.
Baca Juga: Longsor di Cilacap, Desa Kutabima Terisolir dan 3 Rumah Tertimbun
Dalam mendeteksi bencana tidak bisa hanya mengandalkan sensor yang dipasang di permukaan bumi karena tingkat akurasinya akan kalah dibandingkan tanpa kolaborasi menggunakan satelit.
“Kami perlu data akurat dalam mendeteksi bencana, tidak bisa sekadar mendeteksi bencana dengan sensor optik. Dalam setahun, ada hari benar-benar cerah kurang dari 3 bulan. Kalau pakai sensor dan pakai info permukaan tanah dan distribusi tanah untuk prediksi bencana. kurang akurat,” papar Josaphat.
Dengan satelit yang memadai, Indonesia bisa memantau keadaan permukaan bumi secara waktu nyata. “Kami bisa memantau secara realtime. Memantau angin topan kan tidak mungkin dengan menerbangkan pesawat,” kata dia.
Masyarakat Tangguh Hadapi Bencana dengan Sekolah Lapang
BMKG juga memiliki sejumlah program literasi yang menyasar peningkatan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi multibencana di Indonesia. Sejumlah program tersebut di antaranya Sekolah Lapang Iklim (SLI), Sekolah Lapang Cuaca Nelayan (SLCN), dan Sekolah Lapang Gempa Bumi (SLG).
Baca Juga: 478 Keluarga Relokasi Semeru Akan Huni Huntap dan Huntara Sebelum Lebaran
“Sekolah lapang ini tidak sekadar menghasilkan produktivitas yang tangguh, untuk ketahanan pangan. Tapi ketahanan kehidupan manusia,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.
Sekolah lapang merupakan bentuk tanggung jawab dalam membangun kesadaran publik dan pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan pemanfaatan informasi cuaca, iklim dan gempa bumi.
Mari kita simak penjelasan Dwikorita soal tiga sekolah lapang tersebut. Pertama, SLI merupakan program literasi menyasar para pelaku sektor pertanian terutama di tataran akar rumput. SLI telah melatih lebih dari 15 ribu peserta terkait dengan sektor pertanian dan sektor lainnya dalam 10 tahun terakhir.
Program SLI memberikan literasi iklim berbasis pembelajaran modul dan mengawal penerapannya di sektor pertanian selama satu musim tanam pada komoditas tertentu. Materi diberikan berbasis kebutuhan riil informasi iklim dan kasus yang terjadi di lapangan.
Baca Juga: Letusan Gunung Ibu Setinggi 1 Kilometer, Ini Erupsi ke Delapan Bulan Ini
“SLI terbukti berhasil meningkatkan kapasitas pemahaman informasi cuaca dan iklim lebih dari 15 ribu peserta. Secara umum, SLI berkontribusi meningkatkan produktivitas pertanian rata rata 20-30 persen,” kata dia.
Kedua, di sektor kelautan dan wilayah pesisir, BMKG mengembangkan Sekolah Lapang Cuaca Nelayan (SLCN). SLCN merupakan literasi informasi cuaca dan iklim dengan target masyarakat nelayan dan pesisir yang rentan terhadap kejadian cuaca ekstrim dan perubahan iklim.
SLCN bertujuan meningkatkan pemahaman nelayan dan penyuluh perikanan terhadap informasi cuaca dan iklim BMKG serta pemanfaatannya dalam meningkatkan keselamatan dan kesejahteraan aktivitas masyarakat di laut dan wilayah pesisir.
Ketiga, BMKG juga hadir memberikan edukasi mengenai informasi gempabumi dan tsunami melalui Sekolah Lapang Gempa Bumi (SLG). Lewat SLG, BMKG memberikan informasi mengenai potensi bahaya gempabumi dan tsunami di daerah pelaksanaan. Sejak 2021, pelaksanaan Workshop SLG berfokus pada edukasi gempabumi dan tsunami. Sekaligus menjadi wadah BMKG bersama masyarakat atau komunitas untuk membentuk Masyarakat Siaga Tsunami (Tsunami Ready Community).
Baca Juga: Lailan Syaufina: Kebakaran Hutan dan Lahan Menurun Tajam, Diduga Akibat Covid-19
Pelaksanaan SLG 2021 telah menghasilkan tujuh masyarakat siaga tsunami yang telah diakui secara nasional dan sedang dalam proses pengakuan internasional dari UNESCO.
Pada pelaksanaan workshop SLG, BMKG juga membantu pemerintah daerah dengan memberikan Peta Bahaya Tsunami di lokasi pelaksanaan. Tujuannya agar jadi acuan pemerintah daerah dalam menyusun mitigasi gempabumi dan tsunami di daerahnya.
“Sebagai jantung wilayah tropis dan termasuk dalam gugusan ring of fire, Indonesia memiliki potensi risiko tinggi terhadap ancaman kejadian bencana hidrometeorologi dan gempa bumi. Penyediaan informasi cuaca, iklim dan gempa bumi yang disertai dengan kemampuan masyarakat pengguna dalam memahami dan menerapkannya dalam kehidupan diyakini dapat meminimalisir potensi kerugian dan kehilangan dampak bencana tersebut,” papar Dwikorita. [WLC02]
Sumber: bmkg.go.id
Discussion about this post