“Berdasarkan Jurnal tersebut, Indonesia merupakan negara yang paling banyak proyek restorasi terumbu karang di dunia,” kata Parid.
Tries B. Razak menyebut bahwa mayoritas (sebanyak 205 proyek) restorasi terumbu karang merupakan inisiatif pemerintah. Sementara sisanya merupakan bagian dari kegiatan perusahaan, universitas, dan lembaga swadaya masyarakat. Namun, dalam kesimpulan risetnya, ia menyebut bahwa 84 persen proyek restorasi karang Indonesia tak terpantau, bahkan ada yang hancur berantakan.
Baca Juga: Empat Kali Bayi Orangutan Tanpa Induk Kembali Diselamatkan di Melawi
Tak hanya itu, dokumen bertajuk “Profil Kerentanan Perubahan Iklim Kawasan Segitiga Karang Indonesia” yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2021 disebutkan bahwa dari total luas 50.875 km2 terumbu karang Indonesia, luas terumbu karang terancam mencapai 93 persen atau sekitar 39.538 km2. Lebih dari itu, status ekosistem terumbu karang di Indonesia sebanyak 33.82 persen berada dalam kategori buruk; 37.38 persen berada dalam kategori sedang; 22.38 persen berada dalam kategori baik, dan 6.42 persen berada dalam kategori sangat baik.
Dokumen itu menyebut jika menggunakan skenario kenaikan temperatur maksimum sebesar 2ºC, maka setengah dari ekosistem terumbu karang di Indonesia hancur pada tahun 2030. Sementara itu, wilayah di kawasan Segitiga Karang Indonesia yang termasuk dalam kelas kerentanan tinggi hingga sangat tinggi terdapat di Papua dan Papua Barat.
Sebagian besar wilayah di kawasan Segitiga Karang Indonesia termasuk dalam kelas kerentanan sedang. Kelas kerentanan tinggi berada di desa-desa pesisir di Pulau Kalimantan. Sementara wilayah dengan kerentanan sangat tinggi cukup banyak terlihat di Pulau Maluku dan Papua serta di kawasan Sunda Kecil.
Baca Juga: Gempa Sangihe M7,0 Dirasakan di Wilayah KRB Gempa Bumi
Berdasarkan data-data tersebut, Parid menyebut proyek restorasi dan konservasi yang telah dijalankan dalam 30 tahun (1990-2020) tidak berhasil memulihkan terumbu karang di Indonesia beserta desa-desa pesisir yang ada di Kawasan segitiga terumbu karang hingga kini.
“Jika ingin melanjutkan proyek restorasi dan konservasi terumbu karang dalam sembilan tahun ke depan dengan cara sama, maka akan mengulang kegagalan yang sama,” jelas Parid.
Kontradiksi Aturan dan Konflik
Parid juga menggarisbawahi agenda konservasi terumbu karang dalam sembilan tahun ke depan harus berhadapan dengan kontradiksi peraturan perundangan. Kontradiksi pertama adalah ada UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang mengizinkan perubahan kawasan inti konservasi menjadi kawasan eksploitasi. Termasuk juga UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Baca Juga: Data Terkini Longsor Tambang Tulabo Bone Bolango 23 Orang Tewas
Selanjutnya, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Bidang Kelautan dan Perikanan. Pasal 3 sampai 7 PP 27 Tahun 2021 menyatakan zona inti pada kawasan Konservasi Nasional boleh diubah untuk kepentingan proyek strategis nasional.
“Jadi UU Cipta Kerja dan PP 27 Tahun 2021 menjelaskan betapa kawasan konservasi terumbu karang akan sangat mudah diubah untuk berbagai kepentingan proyek strategis nasional yang didominasi kepentingan ekstraktif dan eksploitatif,” ungkap Parid.
Hal lain yang menjadi kontradiksi adalah sebaran proyek reklamasi yang telah, sedang, dan akan dibangun di Indonesia. Berdasarkan studi yang dilakukan Walhi dalam dokumen berjudul “Negara Melayani Siapa? Potret Ocean Grabbing di Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil” dalam 28 RZWP3K di Indonesia, disebutkan bahwa sampai tahun 2040, setidaknya seluas 3.527.120,17 hektar proyek reklamasi dan 63.763,03 hektar proyek tambang pasir laut akan dilaksanakan oleh Pemerintah.
Baca Juga: Yusuf Surachman, Peta Batimetri Kumpulkan Data untuk Memprediksi Tsunami
Proyek reklamasi terbukti menghancurkan kawasan terumbu karang. Di Teluk Manado, reklamasi telah menghancurkan puluhan hektar terumbu karang yang selama ini dilindungi masyarakat. Kasus terbaru adalah proyek reklamasi seluas 90 hektar yang diberi izin Kementerian Kelautan dan Perikanan lewat izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) Nomor 20062210517100001 yang diberikan kepada PT Manado Utara Perkasa.
Sejalan dengan itu, proyek pertambangan pasir laut akan menghancurkan ekosistem terumbu karang. Hal inilah yang membuat nelayan di Pulau Pari, DKI Jakarta melakukan perlawanan terhadap penambangan pasir laut yang menghancurkan terumbu karang yang dilakukan pengusaha pariwisata yang menguasai Pulau Tengah, satu pulau kecil, di gugusan Pulau Pari. Pada titik inilah, PP 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut harus dicabut.
Seruan Keadilan Iklim
Dalam konteks keadilan iklim, Pemerintah AS dan berbagai korporasi multinasional yang berbasis di AS harus berkomitmen menurunkan emisinya, mengingat AS adalah negara yang menjadi produsen emisi utama. Berdasarkan data yang dipublikasi Our World in Data, AS telah memproduksi emisi sebanyak 399 miliar ton atau setara 25 persen emisi global sejak tahun 1751 sampai tahun 2017. Atas dasar itu, The New York Time menyebut AS sebagai “the Biggest Carbon Polluter in History”.
Baca Juga: DPR Sahkan RUU KSDAHE dan Walhi Menolak karena Poin-poin Kritis Diabaikan
Tak hanya itu, sejumlah perusahaan multinasional yang sering disebut dalam Global Carbon Major, bermarkas di AS. Mereka antara lain Exxon Mobile, Chevron, ConocoPhillips, Arch Coal, Anglo American, Alpha Natural Resources, dan lain sebagainya.
Mereka harus berkomitmen untuk menurunkan emisinya sebesar 69 persen sampai tahun 2040. Angka ini sejalan gugatan iklim Pulau Pari kepada Holcim yang merupakan Carbon Major. Angka ini juga sejalan dengan target IPCC untuk menjaga temperatur bumi di bawah 1,5 derajat Celcius,
“Tanpa komitmen penurunan emisi yang sangat signifikan dari AS dan berbagai perusahaan Carbon Major yang bermarkas di AS, debt swap hanya akan menjadi greenwashing atau lebih tepatnya bluewashing. Masyarakat pesisir tetap tidak mendapatkan ruang yang adil untuk terlibat dalam penyusunan kebijakan pemulihan terumbu karang dan kebijakan yang terkait dengan iklim,” ucap Parid. [WLC02]
Sumber: Walhi
Discussion about this post