Wanaloka.com – Konferensi Tingkat Tinggi Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (KTT ASEAN) ke-43 telah digelar pada tanggal 5-7 September 2023 lalu di Jakarta. Sejumlah organisasi masyarakat sipil menengarai KTT ASEAN menjadi agenda regional dan sarana pencitraan pemerintah Indonesia yang menuai berbagai persoalan.
“KTT ASEAN tak ubahnya pertemuan tingkat tinggi kepala negara atau pemerintahan dalam Epicentrum of Crisis,” demikian pernyataan sejumlah organisasi masyarakat sipil, baik LSM Ilmu, Serikat Pemuda NTT, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Solidaritas Perempuan (SP), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), serta warga dari Manggarai Barat.
Isu regional yang dibahas dalam pertemuan ASEAN itu antara lain kedaulatan pangan, ekonomi digital, pertumbuhan ekonomi, ekonomi biru, dan trafficking, serta dua agenda tambahan tentang netralitas karbon dan kendaraan listrik. Ironisnya, KTT ASEAN digelar di tengah situasi kualitas udara di Jakarta dan berbagai daerah yang memburuk akibat kebakaran hutan dan lahan, emisi pembangkit listrik berbahan bakar fosil, dan lainnya.
Baca Juga: Garinda Alma: 6M Plus 1S Antisipasi Gangguan Pernafasan Akibat Polusi Udara
Investasi Bahan Bakar Fosil
Alih-alih mengupayakan penghentian penggunaan energi fosil dan mulai meningkatkan pembangkit listrik berbasis energi bersih, terbarukan, dan berkeadilan secara serius, justru yang dilakukan sebagaimana saat penyelenggaraan pertemuan tahun lalu. Selain ada pembungkaman masyarakat yang mengkritisi penyelenggaraan KTT ASEAN dan agenda di dalamnya, juga terjadi serangkaian rekayasa lalu lintas dan pembatasan hak mobilisasi di Jakarta atas nama sterilisasi pertemuan elit.
Pertemuan ASEAN yang minim partisipasi rakyat adalah bentuk kegagalan negara anggota untuk membangun organisasi regional yang berpusat dan berorientasi pada rakyat, sebagaimana dicita-citakan pada KTT ASEAN 2015. Perhelatan tersebut untuk menegaskan kembali komitmen ASEAN mengurangi emisi karbon dan mempercepat transisi energi yang adil dan inklusif. Namun Indonesia justru akan meningkatkan emisi melalui perluasan infrastruktur gas dan LNG eksisting. Masyarakat sipil menduga agenda sebenarnya adalah untuk meningkatkan kontrol korporasi atas pasar energi menggunakan isu perubahan iklim.
Investasi yang mendorong penggunaan bahan bakar fosil tidak ubahnya fase lain dari kolonialisme abad ke-21 dengan kedok transisi energi yang menimbulkan risiko terhadap dekarbonisasi, keamanan energi, dan perlindungan lingkungan. Biaya yang timbul akibatnya jauh lebih besar dibanding investasi yang dibutuhkan untuk memitigasi kerusakan.
Baca Juga: Kontribusi PLTU Swasta dalam Polusi Udara, KLHK Terapkan Sanksi Berlapis
Berdasar ASEAN State of Climate Change Report, emisi gas rumah kaca (GRK) telah meningkat seiring industrialisasi berbasis energi bahan bakar fosil dan perubahan penggunaan lahan yang mengakibatkan hutan tropis dan lahan gambut yang kaya keanekaragaman hayati menjadi hilang. Bahkan emisi GRK akan terus meningkat hingga tahun 2030 secara global yang menyebabkan kenaikan suhu sebesar 2,1-3,9 °C pada tahun 2100. Pusat Energi ASEAN (ACE) memperkirakan emisi GRK dari sektor energi akan meningkat sebesar 34-147 persen antara tahun 2017 dan 2040.
Krisis Agraria
Krisis agraria yang terkait erat pada akar kemiskinan, ketidakadilan, ketimpangan dan konflik agraria dari tahun ke tahun cenderung naik eskalasinya. Sepanjang tahun 2015-2022, setidaknya terjadi 2.701 konflik agraria di berbagai sektor. Berdasar data KPA, sepanjang Januari-September 2023 telah terjadi lebih dari 230 konflik, baik berupa kriminalisasi, kekerasan dan intimidasi pada pejuang HAM yang meningkat dari tahun sebelumnya.
Discussion about this post