“Menurut kami perlu ada stimulan atau honor untuk para petugas pengambil sampah rumah tangga, di level RT, RW dan kampung,” kata Anggota Komisi I DPR Fraksi PKS itu di Jakarta pada 25 April 2024.
Sukamta meyakini adanya dana stimulan atau honor tersebut membuat para petugas pengambil sampah akan menjalankan tugasnya dengan baik, khususnya pengambilan sampah dengan sistem terpilah.
“Selama ini warga sudah diminta untuk memilah. Tapi di tempat pembuangan dicampur lagi. Ini perlu jadi perhatian, sehingga perlu ada petugas khusus memilah,” ujar dia.
Baca Juga: RUU Perubahan Iklim Sempat Masuk Prolegnas Prioritas 2023
Menurut dia, Kota Yogyakarta perlu menyiapkan peta jalan (roadmap) untuk penanganan sampah jangka panjang yang menyangkut peningkatkan kasadaran masyarakat. Edukasi secara terus menerus harus dilakukan, baik di sekolah, rumah tangga, dan masyarakat.
Tak hanya itu, peraturan yang kuat untuk pengurangan sampah juga sangat dibutuhkan. Sukamta mencontohkan perlu kebijakan kantong plastik berbayar atau larangan penggunaaan kantong belanja plastik sekali pakai. Adapun jangka pendeknya berupa optimalisasi penampungan di TPST Piyungan.
“Kalau saya dengar, TPST ini kalau ada alat dan SDM yang memadai masih bisa dimanfaatkan secara optimal untuk sementara waktu hingga 200-300 ton per hari. Pemkot bisa komunikasikan hal ini dengan Pemda DIY. Rencana optimalisasi 3 TPS 3R di Nitikan, Karangmiri dan Kranon bisa segera direalisasi, meski daya tampung 3 TPS ini masih terbatas,” kata Sukamta.
Baca Juga: Walhi Babel Desak Menteri ESDM Cabut Izin Tambang di Pesisir Laut Batu Beriga
TPA Piyungan Tutup Permanen
Berdasarkan catatan Walhi Yogyakarta, kebijakan Pemkab Sleman tersebut merupakan buah dari penutupan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan secara permanen yang diumumkan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta pada 5 Maret 2024. Pemda DIY berharap penutupan itu menjadi titik balik praktik pengelolaan sampah di DIY. Pemda DIY meminta Pemkab Bantul, Sleman dan Pemkot Yogyakarta dapat mengelola sampahnya secara mandiri.
Sementara TPA Piyungan akan digunakan menjadi Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) untuk wilayah kota. Hasilnya akan berbentuk Refuse Derived Fuel (RDF) yang digunakan untuk campuran batu bara. RDF adalah hasil pengelolaan sampah kering untuk menurunkan kadar air hingga kurang dari 25 persen dan menaikkan nilai kalornya.
Namun rencana tersebut ditolak warga sekitar TPA Piyungan. Mengingat proyek-proyek pengelolaan sampah sebelumnya telah merugikan warga. Warga di sana adalah pihak yang paling dirugikan. Selama 30 tahun, masyarakat di sana mengalami dampak negatif lingkungan hidup yang signifikan, terutama berupa penecemaran air. Sumur-sumur warga tercemar air lindi dan penumpukkan sampah.
Baca Juga: Stasiun Lapangan Geologi UGM, Dulu Dibangun Pertamina Kini Kementerian PUPR
Sementara UU Pengelolaan Sampah menyebutkan pengurangan sampah di sumbernya merupakan prioritas utama. Untuk merealisasikan perlu aturan turunan atau aturan teknis berupa Perpres/Pergub/Perda yang menjelaskan pengelolaan sampah, seperti pengurangan dan penanganan sampah. Sehingga sektor-sektor tertentu, seperti kawasan komersial dan kawasan industri dapat menangani tanggung jawab terhadap sampah yang dihasilkan.
“Keterlibatan masyarakat penting karena paradigma desentralistik seharusnya melibatkan semua elemen, termasuk masyarakat yang tinggal di sekitar TPA Piyungan,” jelas Elki.
Alih-alih melakukan pengelolaan dan pemulihan lingkungan, pemerintah justru memilih menggunakan sampah-sampah yang ada di TPA Piyungan untuk RDF. Padahal bahan anorganik yang digunakan untuk membuat RDF merupakan sampah anorganik yang mempunyai kriteria tertentu, sehingga, tidak semua sampah dapat diolah. Apabila diproduksi dengak skala masif, tidak menutup kemungkinan justru sampah yang tidak sesuai kriteria tetap tidak terolah. Di sisi lain justru akan terjadi impor sampah, seperti di beberapa wilayah yang telah menggunakan teknologi RDF.
Baca Juga: Banjir dan Longsor Luwu, Operasi Udara Evakuasi Warga Sakit dan Pasok Logistik
“Pembakaran RDF juga tidak menutup kemungkinan mengakibatkan pelepasan karbon ke udara, sehingga semakin memperparah terjadinya perubahan iklim,” jelas Elki.
Terkait penerapan paradigma desentralistik dalam pengelolaan sampah, Walhi Yogyakarta memberikan Pemda DIY sejumlah rekomendasi. Pertama, Pemda DIY serius menerapkan paradigma desentralistik pengelolaan sampah dengan melibatkan secara aktif pemkab dan pemkot, komunitas, dan sektor swasta dalam merancang solusi yang sesuai dengan karakteristik setempat.
Kedua, Walhi Yogyakarta mendesak pemerintah memberikan informasi terbuka mengenai langkah-langkah konkret yang akan diambil untuk mengatasi penumpukan sampah di daerah tertentu, termasuk dampak dari penutupan TPA Piyungan.
“Informasi yang transparan dapat membangun kepercayaan masyarakat dan memperkuat partisipasi mereka dalam pengelolaan sampah,” kata Elki.
Baca Juga: Iskandar Lubis, Perlu Analisa Produksi Padi di Tengah Ancaman Perubahan Iklim
Ketiga, Pemda DIY melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas solusi yang diterapkan.
Keempat, Pemda DIY mendorong program-program yang berfokus pada pencegahan dan pengurangan sampah di tingkat lokal. Dukungan terhadap inisiatif ini akan memberikan dampak positif langsung di tingkat daerah dan dapat menjadi langkah konkret menuju pengelolaan sampah berkelanjutan. [WLC02]
Discussion about this post