Wanaloka.com – Aksi serentak berbagai organisasi masyarakat sipil di belasan kota di Asia meliputi Jakarta, Tokyo, Incheon, Mandaluyong, Chiang Mai, Hanoi, Dhaka, Delhi, Kolkata, Kathmandu, Lahore, Karachi dan Kolombo digelar pada 4 Mei 2023. Aksi dengan kampanye “Don’t Gas Asia” itu memprotes peningkatan investasi dan pembangunan proyek-proyek gas di seluruh wilayah di benua ini. Aksi tersebut juga untuk mengingatkan pemerintah agar mempercepat transisi menuju energi bersih, terbarukan, dan berkeadilan.
Di Indonesia, aksi digelar di depan Kantor Kedutaan Besar Jepang di Jakarta. Selain poster berisi protes, juga menampilkan performing art dua sosok yang mengenakan topeng dengan simbol bendera Jepang da Korea Selatan. Gelaran aksi bertepatan dengan Pertemuan Tahunan Dewan Gubernur Bank Pembangunan Asia (ADB) ke-56 yang berlangsung pada 2-5 Mei 2023 di Incheon, Korea Selatan. Mengapa?
Mereka memprotes sikap ADB yang terus membiayai berbagai proyek gas dan LNG. Sementara di sisi lain, ADB menyatakan komitmen untuk mendukung transisi rendah karbon di Asia-Pasifik. Mereka juga memprotes pemerintah Jepang dan Korea Selatan menjadi salah satu investor gas dan LNG terkemuka dunia. Jepang adalah salah satu pemegang saham terbesar dan memegang kursi kepresidenan ADB serta Korea Selatan menjadi tuan rumah pertemuan Dewan Gubernur ADB tahun ini.
Baca Juga: Sensasi Susur Gua Sambil Berendam Air Panas hingga Melihat Peti Jenazah
Saat ini, proyek infrastruktur gas baru di Asia diperkirakan mencapai lebih dari US$350 miliar. Jumlah tersebut tiga kali lipat perkiraan investasi untuk Eropa. Konon, investasi besar itu ditujukan untuk memungkinkan ekonomi negara-negara Asia termasuk China, Filipina, Vietnam dan Indonesia untuk mengurangi penggunaan batu bara.
Namun berbagai analisis menemukan bahwa perluasan LNG telah eksisting saat ini dan yang direncanakan masa mendatang, sehingga akan meningkatkan emisi pada tingkat yang berbahaya. Hasil penelitian juga menunjukkan penggunaan gas fosil untuk pembangkit listrik, pemanas pada gedung, dan industri memberikan kontribusi kematian dini yang hampir sama dengan penggunaan batu bara di 96 kota di seluruh dunia pada tahun 2020. Komponen terbesar dari gas fosil adalah metana, gas rumah kaca (GRK) terkuat kedua setelah karbon dioksida yang berkontribusi terhadap pemanasan global.
Di sisi lain, listrik berbasis energi terbarukan kini menjadi pilihan daya termurah di sebagian besar wilayah. Menurut penelitian, energi terbarukan sudah menjadi opsi default untuk penambahan kapasitas di sektor ketenagalistrikan di hampir semua negara dan mendominasi investasi saat ini. Sebanyak 90 persen dari semua upaya dekarbonisasi akan memerlukan pemanfaatan energi terbarukan melalui pasokan listrik yang murah, peningkatan efisiensi, penerapan elektrifikasi, dan penggunaan sumber energi yang berkelanjutan. Keberhasilan pencapaian tujuan iklim pada tahun 2050 sangat tergantung pada langkah-langkah tepat yang diambil pada tahun 2030.
Baca Juga: Jelang KTT ASEAN, BMKG Simulasi Evakuasi Gempa Bumi dan Tsunami
Bagaimana dengan Indonesia?
Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Fanny Tri Jambore menjelaskan bahwa industri gas dan LNG tidak lepas dari problem pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan. Dari genosida di Aceh hingga ekosida di Sidoarjo, Jawa Timur trend perusakan mengiringi berbagai proyek gas di Indonesia.
Tentu masih segar dalam ingatan, bagaimana pada 29 Mei 2006, operasi gas yang dikerjakan PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur memicu tragedi masif bernama “Lumpur Lapindo” yang menenggelamkan wilayah seluas 900 hektare dan mengusir lebih 100 ribu jiwa dari kampung mereka.
Akhir tahun 2022, media memberitakan rilis Pengadilan Distrik Washington D.C pada pertengahan Agustus 2022 tentang dokumen yang berisi kesaksian 11 korban dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh perusahaan minyak dan gas terbesar di Amerika Serikat, yakni ExxonMobil di Aceh, . Konflik lain terkait industri gas dan LNG di Indonesia juga terjadi di Bali. Sebab rencana pembangunan Terminal LNG di kawasan Sanur mengancam kelestarian hutan mangrove, terumbu karang dan kawasan suci warga, sehingga ditolak warga.
Baca Juga: Menjelajah Sumatera Barat dari Bentang Alam hingga Rumah Gadang Kuno
Dukungan negara-negara maju, seperti Jepang dan Korea Selatan, ataupun institusi pembiayaan seperti ADB untuk ekspansi LNG juga akan menimbulkan risiko cukup besar terhadap dekarbonisasi, keamanan energi, dan perlindungan lingkungan. Dengan dalih “keamanan energi”, mereka terus mempromosikan penciptaan dan perluasan pasar LNG di Indonesia, membuat riset dan peta jalan energi di Indonesia dan mengumumkan bantuan keuangan dan pengembangan sumber daya manusia sebesar puluhan miliar dolar untuk proyek-proyek LNG.
“Padahal mempromosikan gas yang merupakan bagian dari bahan bakar fosil, tidak hanya bertentangan dengan langkah-langkah pencegahan pemburukan dampak perubahan iklim, tetapi juga membuat pasokan energi semakin tidak stabil mengingat harga gas fluktuatif,” jelas Fanny.
Statistik Migas 2021 yang dikeluarkan Kementerian ESDM menunjukkan produksi gas bumi selama periode 2016-2021 menunjukan tren pertumbuhan negatif. Pada tahun 2016, produksi gas bumi sebesar 1.403 Milion Barrel Oil of Equivalent Per Day (MBOEPD) menjadi 1.178 MBOEPD tahun 2021. Begitu pun dengan lifting gas bumi (hasil produksi siap untuk dijual) mengalami penurunan dari 1.188 MBOEPD menjadi 995 MBOEPD.
Baca Juga: Disebut Bunga Bangkai, Ini Asal Baunya
“Produksi dan cadangan gas yang semakin menurun, mendorong Indonesia semakin bergantung pada gas. Itu akan menjebak Indonesia pada situasi rentan dan semakin jauh dari kemandirian energi,” imbuh Fanny.
Ia mengingatkan, promosi gas dan LNG serta hal-hal turunannya seperti penggunaan co-firing hidrogen dan amoniak pada PLTU, tidak dapat dianggap sebagai transisi energi. Melainkan upaya untuk mengakomodasi kepentingan korporasi untuk terus menggunakan bahan bakar fosil.
Fanny menduga, agenda sebenarnya adalah untuk meningkatkan kontrol korporasi atas pasar energi dengan menggunakan isu perubahan iklim sebagai peluang untuk mencapai tujuan tersebut. Investasi yang masih mendorong penggunaan bahan bakar fosil (seperti proyek amoniak PLTU Suralaya di Banten atau Proyek LNG Blok Masela di Laut Arafura) merupakan fase lain dari kolonialisme abad ke-21 dengan kedok transisi energi.
Baca Juga: Gempa Dalam di Laut Flores 5,3 Magnitudo Dipicu Slab Pull Lempeng Indo Australia
“Jadi seharusnya Indonesia menghentikan penggunaan energi fosil. Mulai tingkatkan pembangkit listrik berbasis energi bersih, terbarukan, dan berkeadilan. Bukannya terjebak pada solusi-solusi palsu,” tegas Fanny.
MOU Indonesia-Jepang untuk Percepatan Dekarbonisasi?
Discussion about this post