Wanaloka.com – Sebelum ada Standard Operating Procedure (SOP) automatic processing gempa bumi dan tsunami, Indonesia belum mempunyai sistem peringatan dini. Masa itu, jumlah sensor seismograph yang beroperasi dengan baik kurang lebih hanya 20 buah. Cara analisanya pun masih semi manual dengan menggunakan penggaris, jangka, pensil, busur derajat.
“Bahkan komputernya masih sangat jadul,” ujar Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam pidato sambutan saat membuka Forum Group Discussion (FGD) SOP InaTEWS yang diadakan Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG di Hotel Mercure, Jakarta pada 8 November 2023.
Lebih lanjut Dwikorita menyampaikan, saat itu BMKG belum bisa memberikan informasi pusat gempa bumi terjadi dalam waktu yang singkat. Melainkan mesti menunggu beberapa jam baru bisa mengetahui dimana gempa bumi yang disertai tsunami telah terjadi dan ribuan orang meninggal.
Baca Juga: Pilihlah Bangunan Kayu karena Renewable dan Menyerap Karbon
“Itu pun melalui berita di media televisi,” imbuh Dwikorita
Barulah pada tahun 2006 dibangun sistem peringatan dini tsunami. Sistem tersebut merupakan kesadaran dalam menyampaikan informasi gempa bumi dan tsunami secara cepat kepada masyarakat.
Sistem tersebut mulai beroperasi pada tahun 2008. Itu pun hanya beberapa puluh sensor seismograph yang di desain khusus untuk memberikan informasi peringatan dini gempa bumi Megathrust dan tsunami.
Baca Juga: Moratorium Izin Tambang DAS Progo, Walhi Yogya: Awal Pemulihan Lingkungan
Discussion about this post