Sementara sebagaimana pelaksanaan OMC yang pernah dilakukan BNPB, secara teknis, pelaksanaannya masih sama, yakni menaburkan bahan semai berupa Natrium Klorida (NaCl) atau garam dapur ke kumpulan bibit awan hujan. Partikel NaCl ini akan menempel pada butiran-butiran uap air yang terkandung di dalam bibit awan hujan. Dengan demikian berat atau masanya bertambah dan hujan dapat diturunkan di posisi yang dikehendaki berdasar hasil analisis tim di darat.
Selain NaCl, bahan semai lainnya juga akan menggunakan Kalsium Oksida (CaO) atau kapur tohor. Fungsinya untuk mengurai partikel asap dan gas yang dihasilkan karhutla sehingga proses penguapan dan pembentukan awan hujan dapat segera terjadi.
Penyemaian kapur tohor juga dilakukan apabila asap terlalu banyak menutupi area penguapan. Jika hal itu terjadi, maka pesawat akan menyemai kapur tohor terlebih dahulu. Apabila sudah terbentuk awan hujan, kemudian bahan semai garam dapur disebar ke angkasa.
Baca juga: Lumba-lumba Bongkok Indo-Pasifik Ditemukan di Perairan Serdang Bedagai
Sementara OMC di wilayah Riau berbeda dengan OMC di wilayah Jabodetabek pada bulan lalu. OMC di Jabodetabek dilakukan untuk redistribusi curah hujan agar tidak turun di bagian hulu sungai maupun kawasan terdampak banjir di sana. Sebaliknya, OMC di Riau adalah untuk menurunkan hujan di lokasi target yang terdapat titik api.
Komisi IV nilai pemerintah lamban
Sementara Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Alex Indra Lukman menilai respons pemerintah dalam menangani kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang kembali melanda sejumlah wilayah di Sumatera, lamban. Menurut dia, langkah antisipatif belum tampak jelas, meskipun teknologi pemantauan seperti Karhutla Monitoring System (KMS) telah tersedia.
“Akibat titik panas ini, kabut asap juga mulai terbentuk dan telah terpantau menyebar hingga ke wilayah Malaysia berdasarkan citra satelit pada Minggu (20 Juli 2025),” jelas dia dalam siaran tertulis, Senin, 21 Juli 2025.
Baca juga: Baiquni, Lima Pilar Mitigasi untuk Mengendalikan Risiko Pendakian Gunung
Ia mendorong agar sistem KMS yang digagas pemerintah benar-benar dioptimalkan. Sistem tersebut seharusnya dapat memberikan data presisi secara real-time untuk mendeteksi dan mencegah karhutla sejak dini.
KMS yang dikembangkan bersama platform Global Forest Watch Fires (GFW-Fires) mampu mengirimkan data visual kejadian kebakaran dengan resolusi hingga 50×50 cm. Sistem ini berada di bawah koordinasi Kantor BP REDD+ Jakarta dengan tiga fokus utama berupa langkah pencegahan, pengawasan, dan penegakan hukum.
“Sayangnya, dalam karhutla tahun ini, publik belum melihat peran nyata BP REDD+ dalam mengatasi kebakaran yang terus berulang setiap tahun,” ungkap dia.
Baca juga: Wisatawan Gunung Rinjani Asal Belanda Jatuh di Kedalaman 20-30 Meter
Menurut Alex, karhutla tidak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan. Melainkan juga menimbulkan masalah kesehatan masyarakat, gangguan aktivitas sehari-hari, dan mencoreng hubungan antarnegara akibat asap lintas batas.
“Saatnya BP REDD+ menunjukkan kebermanfaatannya secara konkret, apalagi dalam mendukung Asta Cita Presiden Prabowo untuk menurunkan kemiskinan, meningkatkan kualitas SDM, serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” tambah Politisi Fraksi PDI-Perjuangan.
Alex juga menekankan pentingnya penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran. Mengingat kondisi suhu di sejumlah wilayah Sumatera saat ini bahkan tercatat lebih tinggi dibanding rata-rata suhu 10 tahun terakhir.
Baca juga: Bahaya Melepas Ular Peliharaan ke Alam, Sayangnya Belum Ada Aturannya
Ia juga menyoroti tidak berfungsinya helikopter water bombing milik BPBD Riau, sehingga menyulitkan proses pemadaman karena harus bergantung pada tenaga darat. Ia mendoakan semua petugas di lapangan, termasuk Manggala Agni, TNI, Polri, BPBD, dan relawan lainnya agar selalu diberi kekuatan dalam menjalankan tugas pemadaman karhutla.
“Mereka berjibaku memadamkan api dalam kondisi serba terbatas. Bahkan hanya dengan tongkat karena tidak ada sumber air di lokasi,” kata Alex. [WLC02]
Discussion about this post