Wanaloka.com – Tragedi semburan lumpur panas Lapindo di Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur sejak 29 Mei 2006 silam menjadi cikal bakal penetapan Hari Anti Tambang (Hatam) lima tahun kemudian, tepatnya 29 Mei 2011. Dan kini, genap 17 tahun tragedi bencana sosial ekologis itu menjadi salah satu penanda penting. Bahwa model pengembangan ekonomi yang bertumpu pada ekstraktivisme alias pertambangan, alih-alih mensejahterahkan warga, justru memicu bencana sosial ekologis berkepanjangan. Bahkan tidak dapat dipulihkan.
“Seharusnya tragedi ini menjadi dasar kuat bagi pengurus Negara untuk mulai menghentikan ketergantungan pada industri ekstraktif, baik sebagai sumber pemenuhan energi maupun penopang ekonomi,” kata Muh. Jamil dari Jaringan Masyarakat Anti Tambang (Jatam) dalam siaran pers yang dirilis Jatam tertanggal 29 Mei 2023.
Dampak semburan lumpur Lapindo mengakibatkan warga menjadi korban bertubi-tubi. Lumpur itu telah menenggelamkan 1.143 hektare lahan di 19 desa dan memaksa 22.214 warganya mengungsi. Saat ini, sumber-sumber air warga tercemar logam berat dan warga setiap hari menghirup gas beracun dari lumpur itu. Warga pun terancam dirampas hak sipil-politiknya akibat rencana penghapusan administrasi empat desa yang terdampak semburan, yakni Desa Renokenongo, Desa Besuki, Desa Kedung Bendo dan Desa Ketapang.
Baca Juga: Gempa Dangkal di Pantai Barat Sumatera Dirasakan hingga IV MMI
Berkedok Transisi Energi
Tak hanya lumpur Lapindo, kasus-kasus bencana sosial ekologis akibat industri ekstraktif pertambangan meluas di berbagai tempat. Tak peduli muncul di pemukiman warga, kawasan lindung-konservasi, kawasan rawan bencana, hingga wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Bahkan penghancuran ruang hidup warga oleh industri ekstraktif dilakukan dengan mendompleng narasi-narasi krisis iklim, membungkus operasi-operasi industri tambang dengan jargon transisi energi, ekonomi rendah karbon, teknologi ramah lingkungan, hingga klaim energi bersih dan berkelanjutan.
“Bahkan krisis iklim jelas-jelas tercipta dari operasi industri ekstraktif itu sendiri,” imbuh Jamil.
Begitu pun dampak industri geothermal alias pertambangan panas bumi yang diklaim sebagai energi ramah lingkungan, bersih dan berkelanjutan. Teror atas hidup warga sehari-hari terus berlangsung. Mulai dari perambahan lahan produksi warga, ekstraksi dan pencemaran bentang-bentang air, peracunan udara oleh gas H2S, pencemaran panas dan pencemaran bising dari pengerahan mesin-mesin pembongkar dan penggali sumur, perakitan pipa-pipa raksasa pengalir uap, turbin raksasa pembangkit tenaga listrik, sampai pemasangan jalinan kabel transmisi dan distribusinya.
Baca Juga: Peringati Hari Jamu 2023 dengan Menanam hingga Menyeduh Jamu
Tercatat lebih dari 350 sasaran mata bor tambang panas bumi di seluruh kepulauan Indonesia. Seluruh rerantai operasi bisnis pembangkit listrik dengan penambangan panas bumi, termasuk proses produksi instrumen regulasi sebagai komoditi esensial bagi industri berbahaya tersebut menuntut kesukarelaan rakyat. Sebagaimana yang terjadi di Sorik Marapi pada 25 Januari 2021 lalu. Lima lima warga, dua di antaranya anak-anak, meregang nyawa akibat keracunan gas H2S dari operasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) milik PT Sorik Marapi Geothermal Power.
Namun upaya perlawanan warga tambang panas bumi juga semakin menguat di berbagai wilayah. Di Wae Sano dan Poco Leok, Flores, hingga kini PLTP gagal beroperasi karena penolakan dan perlawanan warga. Juga dialami warga di Padarincang, Kabupaten Serang yang sejak 2013 berhasil menghadang operasi PT Sintesa Banten Geothermal yang berencana menambang panas bumi di Gunung Prakasak.
Upaya korporasi tambang untuk mengemas operasi penghancuran ruang hidup warga dengan dalih ekonomi rendah karbon dan ramah lingkungan tidak hanya terjadi di industri geothermal. Hal serupa juga dilakukan korporasi tambang industri nikel. Dengan dalih pengembangan ekosistem kendaraan listrik yang dipromosikan pengurus Negara saat ini, industri nikel menghancurkan ruang hidup warga, khususnya di kawasan timur Indonesia. Belum lagi ratusan ribu ton batu bara yang terus dikeruk dan dipasok ke smelter-smelter di kawasan industri pengolahan nikel yang memperparah penghancuran di Kalimantan.
Baca Juga: Karhutla di Kota Palangkaraya Seluas Delapan Hektar Berhasil Dipadamkan
Ekspansi industri nikel atas nama kendaraan listrik yang diklaim ramah lingkungan dan rendah karbon antara lain terjadi di Pulau Obi di Maluku Utara dan Pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara. Keduanya terhubung dengan salah satu raksasa korporasi tambang di Indonesia, Harita Group.
Ekstraksi nikel yang dilakukan perusahaan-perusahaan di bawah Harita Group telah meninggalkan daya rusak yang panjang, tak terpulihkan. Mulai dari pembukaan lahan skala besar, mencemari air, udara, dan laut. Dampaknya berupa kesehatan warga dan ekosistem terganggu, membongkar kawasan hutan yang memicu deforestasi, hingga kekerasan beruntun terhadap warga lokal.
Discussion about this post