Mayong menegaskan ketika restorasi belum menjadi pijakan utama, risiko baru justru muncul di kawasan bekas izin pemanfaatan hutan. Berbagai peta kerawanan bencana sebenarnya telah tersedia dan terus diperbarui oleh lembaga terkait. Tantangannya justru terletak pada pemanfaatan data tersebut sebagai dasar penyusunan tata ruang baru.
Baca juga: Sidang Tokoh Adat Christian Toibo, Kuasa Hukum Ajukan Penangguhan Penahanan
“Peta risiko bencana seharusnya menjadi bahan utama dalam penyusunan tata ruang baru agar kawasan rawan segera dipulihkan,” tegas Mayong.
Dalam situasi seperti itu, kebijakan pascabencana kerap dituntut bergerak cepat. Respons cepat ini diperlukan untuk mencegah risiko lanjutan, tetapi tetap harus diikuti langkah yang lebih mendasar. Penilaian ulang kawasan rawan, penegakan hukum, dan peningkatan kesadaran masyarakat menjadi bagian yang tidak terpisahkan.
“Kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat sangat menentukan dalam menekan dampak bencana di wilayah rawan,” ucap dia.
Agar respons cepat tidak berhenti sebagai langkah jangka pendek, pembenahan struktural dinilai menjadi keharusan. Mayong menekankan pentingnya pemetaan ulang kondisi kawasan secara menyeluruh. Kawasan yang seharusnya berhutan perlu segera dipulihkan, sementara wilayah berisiko tinggi perlu dihindari sebagai kawasan hunian.
Baca juga: Walhi Papua Tolak Rencana Prabowo Buka Perkebunan Sawit di Papua
“Hunian seharusnya dijauhkan dari kawasan berisiko seperti dataran banjir dan sempadan sungai,” tegas dia.
Pembenahan kebijakan akan kehilangan makna jika tidak diikuti pengawalan di tingkat implementasi. Pengawasan lapangan, penegakan hukum, serta dukungan sumber daya manusia masih perlu diperkuat agar perlindungan kawasan berjalan efektif.
Pemanfaatan teknologi turut menjadi kunci agar perlindungan kawasan berjalan efektif dan bencana dapat ditekan
“Kebijakan yang baik harus diikuti pengawasan dan penindakan sampai tuntas agar perlindungan kawasan benar-benar berjalan,” pungkas Mayong. [WLC02]
Sumber: UGM






Discussion about this post