“Ya, karena cuaca ekstrem. Kadang hujan, kadang panas membuat hama wereng cepat berkembang biak,” jelas Kepala Dinas Pertanian dan Pangan (DPP) Kulon Progo, Drajat Purbadi kepada Wanaloka.com melalui sambungan telepon, Jumat, 17 Mei 2024 sore.
Berdasarkan data DPP Kulon Progo, luasan lahan pertanian yang diserang hama wereng mencapai 2.426 hektare dari 7.768 hektare. Akibatnya, lahan padi seluas 59 hektare diketahui puso alias gagal panen.
Solusi dari DPP adalah melakukan penyemprotan pestisida kimia selama tiga hari berturut-turut. Kebijakan itu diikuti mayoritas petani di Kulon Progo.
Dampak lain dari perubahan iklim yang pernah dirasakan pertanian Kulon Progo adalah saat cuaca ekstrem awal 2020. Lahan pertanian seluas 404 hektare di tiga kecamatan, yakni Panjatan, Lendah, dan Galur terendam banjir. Dampaknya, 74,7 hektare lahan mengalami puso.
Hijrah ke Pertanian Lestari
Ledakan hama wereng itu mengingatkan Staf Lapangan Sekretariat Pelayanan Tani dan Nelayan Hari Pangan Sedunia (SPTN-HPS), Hardiyoko, 55 tahun pada peristiwa serupa tahun 1986. Tepatnya, 21 Juli 1986, Presiden Soeharto mendapat medali emas dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia, Food and Agriculture Organization (FAO) karena dinilai mampu mewujudkan kemandirian atau swasembada pangan.
“Indonesia berhasil tidak impor beras,” kata Yoko di Kantor STPTN-HPS di Kotagede, Kota Yogyakarta, Jumat, 10 Mei 2024.
Namun usai penghargaan itu, tiba-tiba ledakan hama wereng cokelat yang hebat menyerbu tanaman padi di berbagai daerah di Indonesia. Banyak daerah lumbung pangan yang gagal panen.
Yoko menjelaskan, ledakan hama wereng masa itu merupakan akumulasi dari penerapan program Panca Usaha Tani dari pemerintah. Meski produktivitas tinggi, benih-benih unggul cenderung tidak tahan hama. Ketergantungan pada pupuk kimia juga menyebabkan daya tahan tanaman terhadap hama jadi lemah.
Kemudian pola tanam yang serentak dan seragam mengakibatkan jenis hama yang menyerang juga sama. Penggunaan pestisida turut membunuh predator pemakan hama sehingga jumlah hama kian meningkat.
“Rantai makanan pada siklus kehidupan terputus. Akhirnya impor beras lagi,” kata Yoko.
Dampak lainnya, tanah semakin sulit dikelola karena kian keras. Produksi pangan menurun, tetapi penggunaan pupuk kimia bertambah. Petani tak lagi punya benih lokal yang bisa beradaptasi dengan lingkungan, karena telah punah dan digantikan benih-benih unggul.
“Kemudian lahirlah pertanian lestari itu,” kata Yoko.
Pertanian lestari atau pertanian yang berkelanjutan lahir dari Seminar Hari Pangan Sedunia yang diikuti petani-petani tingkat Asia pada 1990. Acara digelar di Gereja Katolik Ganjuran di Kecamatan Bambanglipuro, Kabupaten Bantul.
Seminar itu menghasilkan Deklarasi Ganjuran yang merujuk pada empat poin dasar pertanian lestari. Empat poin itu adalah pertanian yang selaras dengan lingkungan, murah secara ekonomi, berkeadilan sosial, serta sesuai dengan kebudayaan setempat.
“Pertanian lestari masa itu seperti bentuk perlawanan kepada pemerintah. Bukan frontal ya. Kami sampaikan, ini adalah pertanian lestari yang selaras dengan alam. Kembali seperti (pertanian yang dilakukan) nenek moyang,” papar Yoko.
Untuk menjalankan isi deklarasi itu, dibentuk SPTN-HPS. Pada 1994, Herni dan suaminya turut bergabung menjadi kadernya. Ia juga sering mengikuti pertemuan, pelatihan dan terus memperdalam pengetahuannya tentang pertanian lestari. Berbagi waktu dengan tugas sehari-harinya sebagai guru di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Pengalaman perempuan-perempuan tani di Kulon Progo dalam mengelola pertanian dan pekarangan, jauh hari telah menjadi keprihatinan Herni. Perhatiannya pada pangan dan lingkungan membuatnya banyak menimba ilmu dan pengalaman soal itu. Kerusakan alam dan lingkungan hari ini ada penyebabnya.
“Yang jelas itu benihnya, pupuknya, pengendali hamanya. Itu satu paket,” tegas Herni.
Tanah adalah kehidupan. Pengolahan tanah semestinya tidak perlu maksimal lantaran di dalam tanah ada kehidupan, seperti cacing, dan jasad renik lainnya. Makhluk-makhluk itu juga melakukan pemupukan secara alami.
“Kalau tanah sering diowah-owah (dibolak-balik) akan menganggu kehidupan di dalamnya,” jelas Herni.
Memberi pupuk alami, seperti kompos dan pupuk kandang adalah bagian dari menjaga kesuburan tanah. Usai diberi pupuk alami, manusia tak perlu terlalu sering memupuk dan mencangkul, sehingga menghemat tenaga.
“Bisa dilihat, tanah yang subur itu yang remah, tidak keras, tidak bantat,” kata Herni.
Di atas tanah itulah disebar benih-benih tanaman. Sebelum revolusi hijau, Indonesia mempunyai sekitar 450 benih padi lokal. Banyak benih padi lokal itu hilang karena tak dilestarikan dan digantikan benih-benih unggul. Beruntung masih ada benih-benih lokal yang terselamatkan dan lestari, seperti Pandan Wangi, Mentik Susu, Batang Limbang, Rojolele dan banyak lagi.
Benih lokal bisa beradaptasi dengan lingkungan, sehingga kualitasnya tetap bagus meskipun ditanam berkali-kali. Berbeda dengan benih unggul yang hanya bagus ditanam satu kali.
“Benih kan sumber kehidupan. Kalau hilang, nggak bisa berlanjut. Kalau terus beradaptasi, bisa ditanam turun-temurun,” kata Herni.
Benih lokal yang tumbuh tak serta merta terbebas dari hama. Herni yakin Tuhan menciptakan makhluk-makhluk untuk saling menghidupi dan dihidupi, termasuk hama.
Ia meyakini, Tuhan menciptakan tikus yang memakan padi di sawah untuk hidup. Bagaimana agar tikus tak makan padi? Manusia mesti memberinya makan.
Biasanya Herni meletakkan makanan di pematang sawah yang tikus doyan melahapnya. Ia pun menanam talas, singkong, atau jagung.
Acapkali Herni mencacah papaya dan meletakkan di pematang. Alih-alih makan padi, tikus akan makan makanan yang telah disediakan itu.
“Kalau saya rasakan, tikus juga tahu kok, kalau kita memperhatikannya sehingga mereka tidak merusak,” kata Herni.
Mengusir tikus juga bisa dilakukan dengan menanam tanaman beraroma menyengat, seperti serai dan dlingo bengle. Tikus tak suka aroma itu, lalu pergi.
“Dan itu sungguh-sungguh terjadi. Orang-orang di dusun ini tahu persis. Sini habis, tapi tempat saya hanya dimakan sebagian, disisain banyak. Itu pengalaman yang sukses,” kenang Herni.
Persoalannya, pestisida yang dianjurkan pemerintah bersifat membunuh karena produk kimia yang mengandung unsur racun. Sementara yang dipraktikkan dalam pertanian lestari adalah mengendalikan hama, bukan membunuhnya.
Praktik meracun tikus pernah dilakukan sejumlah petani saat hama tikus merajalela. Bukannya berhenti, ulah tikus makin ganas hingga menyerang petak-petak sawah lainnya. Panen padi pun banyak yang gagal.
“Kalau satu dimatikan, teman-temannya juga akan merusak,” terang Herni.
Kesibukan yang menyita banyak waktu itu membuatnya harus memilih mundur sebagai guru pada 1998. Ia mempraktikkan ilmu pertanian lestari itu di lahan sawahnya. Perlahan ia mengajak para petani yang dikenalnya, baik laki-laki, perempuan, dan anak-anak muda untuk berkumpul.
“Sekaligus menularkan ilmu pertanian lestari kepada petani-petani lainnya. Apalagi yang punya niat untuk ikut memperhatikan lingkungan. Terutama untuk lahan pertanian yang sudah rusak,” kata Herni.
Baca Juga: Akses Air Bersih Perempuan Pesisir Buruk, Perlu Prioritas Perhatian Pemerintah
Semula yang diajak hanya dari lingkungan di rukun tetangga (RT), lalu meluas ke dusun, gereja, kecamatan hingga kota dan kabupaten. Sejumlah kelompok pertanian lestari juga dibentuk.
“Biar pertanian lestari ini bisa dipraktikkan, dilanjutkan. Dimulai dari keluarga. Kalau bertemu siapapun, sampaikanlah untuk keselamatan kita semua,” kata Herni penuh harap.
Tujuan pertanian lestari adalah untuk kemandirian, kesehatan, dan kelestarian lingkungan. Cara itu dapat dicapai apabila manusia dapat memanfaatkan alam sekitar secara bijak, merawatnya, memperhatikan agar tetap lestari.
“Sebenarnya kan Tuhan sudah menyediakan apa-apa yang kita butuhkan,” tukas dia.
Pada 2019, Herni membentuk kelompok petani lestari khusus perempuan yang diberi nama Kelompok Karya Lestari Mandiri (Karisma). LSM Solidaritas Perempuan (SP) Kinasih ikut mendampingi kelompok perempuan petani ini.
Salah satu alasan memilih perempuan sebagai anggota karena perempuan petani belum memiliki banyak kesempatan dan posisi tawar dalam mengambil keputusan. Jika perempuan ikut berkumpul dan bertambah wawasannya, maka perempuan akan punya andil dalam keluarga, bahkan masyarakat.
Dahulu, Herni menjelaskan, perempuan biasa memilih benih karena telaten, laki-laki mengolah lahan. Sementara kunci di meja makan adalah perempuan. Kalau perempuan punya ilmu memilih benih yang baik, ia bisa menularkan ilmunya kepada suaminya yang menanam.
“Nanti yang tersedia di meja makan untuk keluarga adalah sajian sehat. Itu demi keberlanjutan generasinya,” papar Herni.
Sebaliknya, jika terbiasa menyajikan makanan instan, pengolahan lahannya pun serba praktis dan instan, maka hidupnya akan konsumtif.
Kegiatan Karisma pun beragam. Mereka melakukan pertemuan saban tanggal 15 dengan agenda seperti pelatihan membuat pupuk cair, membuat aneka penganan, dan arisan untuk simpan pinjam dengan nilai simpanan wajib Rp2.000 per orang.
Kemudian tiap Sabtu pagi, ada agenda Angkringan Karisma yang diikuti anggota dan bukan anggota. Mereka bisa menjual aneka produk kuliner buatan sendiri, seperti agar-agar, bakmi, aneka jajanan pasar dan hasil pertanian dan pekarangan mereka. Ada beras Mentik Susu Rp23 ribu per kilo, gula aren Rp30 ribu per kilo, hingga kecap dari gula aren Rp15 ribu.
“Yang penting ngumpul. Buat kebersamaan juga,” kata Ketua Karisma, Misidah usai acara angkringan, Sabtu, 27 April 2024 pagi.
Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Kinasih 2020-2024, Sana Ullaili menambahkan, Karisma mempunyai visi untuk mewujudkan pertanian dan pedesaan yang lestari, berkelanjutan serta berkadilan. Sedangkan misinya adalah melakukan praktik pertanian lestari, mengonsumsi hasil pangan yang lestari, mengolah, memasarkan, mengenalkan, dan menyebarluaskan praktik pertanian lestari kepada berbagai pihak.
Selain mengolah pertanian secara alami, ciri khas lain pertanian lestari adalah mengutamakan hasil produksi pertaniannya untuk keluarga, juga sekitarnya. Apabila sisa, barulah dijual.
“Panen itu jangan semua didol (dijual), terus beli beras. Panen itu ya disisihke dienggo benih, dienggo kebutuhan keluarga, tanggane nek arep nempil (panen ya disisakan untuk benih, untuk kebutuhan keluarga, tetangganya kalau mau beli). Kemudian sisanya dijual,” jelas Sana saat ditemui di kantornya, Senin, 6 Mei 2024.
“Markas” Karisma berada di tempat tinggal Herni di Dusun Jogobayan. Di sana pula, aneka produk pertanian lestari yang tersisa dikumpulkan untuk dijual. Herni membantu untuk mencari pembeli. Sedangkan anggota Karisma tersebar di empat dusun lain di Kecamatan Kalibawang dan Samigaluh. Kini jumlah anggotanya ada 45 orang, tetapi hanya 25 orang yang aktif, termasuk Misidah, Tuti, Yohana, dan Harning.
“Ada proses natural dulu. Ini kan soal perubahan pola pikir (dari pertanian konvensional ke lestari). Jadi bagaimana Karisma betul-betul membangun kesadaran individual sehingga mampu menggerakkan orang-orang di sekitarnya,” kata Sana. [PITO AGUSTIN RUDIANA]
(Liputan ini merupakan fellowship Perempuan, Bisnis Berkelanjutan dan Perubahan Iklim yang diselenggarakan ASPPUK, AJI Indonesia dan Konde.co)
Discussion about this post