Hal lain yang perlu diwaspadai adalah konsentrasi kekuasaan dalam satu lembaga,seperti Badan Industri Mineral, cenderung membuka ruang bagi praktik korupsi, konflik kepentingan, dan pengabaian terhadap prinsip transparansi. Jika pengelolaan mineral strategis diserahkan kepada segelintir elit yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan, maka demokrasi ekonomi menjadi ilusi. Menurut Jatam, Rezim Prabowo-Gibran telah menunjukkan bahwa kepentingan oligarki lebih diutamakan daripada keselamatan rakyat dan keberlanjutan ekologi.
Jatam menyebut, salah satu figur sentral dalam oligarki tambang mineral strategis adalah adik kandung Presiden Prabowo Subianto sekaligus pemilik Arsari Group, Hashim Djojohadikusumo. Melalui perusahaan tambangnya, PT Arsari Tambang, Hashim menguasai konsesi timah yang luas di Bangka Belitung, termasuk melalui anak usaha seperti AEGA Prima yang memiliki izin operasi produksi hingga puluhan tahun ke depan.
Investasi besar-besaran dalam peleburan dan pemurnian timah, seperti pembangunan pabrik PT Solder Tin Andalan Indonesia senilai Rp 400 miliar. Kondisi itu menunjukkan betapa masifnya ekspansi bisnis tambang yang dilakukan keluarga inti kekuasaan.
Baca juga: Akhir Agustus 2025, Potensi Karhutla di Riau Meningkat
Kedekatan antara pengusaha tambang dan kekuasaan politik menciptakan struktur oligarki yang mengaburkan batas antara kepentingan negara dan kepentingan pribadi. Jika figur seperti Hashim memiliki akses langsung ke kebijakan strategis dan lembaga negara, maka pengambilan keputusan tidak lagi didasarkan pada kepentingan publik, melainkan pada akumulasi kapital dan kontrol atas sumber daya. Dalam konteks ini, Badan Industri Mineral berpotensi menjadi alat legitimasi bagi ekspansi bisnis tambang yang dilakukan oleh oligarki.
Kritik terhadap oligarki tambang bukanlah sekadar persoalan etika, melainkan soal keberlangsungan demokrasi dan keadilan ekologis. Ketika sumber daya strategis dikuasai oleh segelintir elite yang memiliki kedekatan istimewa dengan penguasa, rakyat kehilangan kendali atas masa depan ruang hidupnya. Rezim Prabowo dinilai tidak hanya gagal menjaga jarak dari kepentingan bisnis keluarga, tetapi juga aktif memfasilitasi ekspansi tersebut melalui kebijakan dan lembaga negara.
“Ini bukan sekadar konflik kepentingan, ini adalah bentuk kerakusan yang terlembagakan,” tegas Jamil.
Baca juga: Pengendalian Lalat Buah dengan Teknologi Nuklir, Amankah?
Keberadaan Badan Industri Mineral dinilai Jatam, bukanlah jawaban atas kebutuhan rakyat. Sebaliknya, justru manifestasi dari negara yang telah disetir habis-habisan oleh oligarki tambang. Di tangan rezim yang berkelindan dengan kepentingan bisnis keluarga dan kroni, lembaga ini akan menjadi alat legalisasi perampokan sumber daya, memperdalam luka ekologis, dan memperkuat dominasi politik-ekonomi oligarki.
Pembentukan badan baru diduga untuk memfasilitasi para pengusaha tambang rakus ini menunjukkan negara telah berubah menjadi fasilitator kerakusan, bukan pelindung keselamatan rakyat dan ekologi.
Sumpah setia UUD 1945
Sejumlah Kepala dan Wakil dilantik Presiden Prabowo Subianto dari empat badan yang dibentuk di Istana Negara, Jakarta, pada Senin, 25 Agustus 2025. Meliputi Kepala dan Wakil Kepala Badan Otorita Pengelola Pantai Utara Jawa, Kepala Badan Industri Mineral, Kepala Badan Narkotika Nasional, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Baca juga: Alasan Prabowo Tertibkan Tambang Ilegal agar Negara Tetap Memperoleh Pendapatan
Brian Yuliarto diangkat berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 77/P Tahun 2025 tentang Pengangkatan Kepala Badan Industri Mineral.
Mereka dilantik dengan mengucap sumpah jabatan menurut agama Islam yang dipandu langsung oleh Prabowo.
“Bahwa saya akan setia kepada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta akan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya, demi darmabakti saya kepada bangsa dan negara,” ujar Prabowo saat mendiktekan penggalan sumpah jabatan kepada pejabat yang dilantik. [WLC02]
Sumber: Jatam, BPMI Setpres
Discussion about this post