Wanaloka.com – Industri penerbangan global telah menargetkan Net Zero Emmission (NZE) 2050, yaitu pengurangan emisi 2050 sekitar 11,5 Giga Ton. Salah satu strateginya dengan cara beralih dari bahan bakar fosil avtur ke bahan bakar yang lebih ramah lingkungan dan terbarukan. Bahan bakar yang dimanfaatkan dan dikembangkan adalah Sustainable Aviation Fuel (SAF).
Arif Rahman dari Postdoctoral di Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur Hidup (PRSPBPDH) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) 2023-2025 memprediksi SAF mampu menurunkan emisi CO2 sekitar 718 Mega Ton CO2 pada 2050. Pada tahun yang sama, proses kebutuhan SAF diperkirakan sekitar 449 Miliar Liter secara global dalam satu tahun.
Sementara berdasarkan peta jalan yang sudah dibuat, Pemerintah Indonesia menetapkan tiga tujuan utama. Pertama, dekarbonisasi aviasi yang mendukung tercapainya target dekarbonisasi global dan domestik pengurangan emisi karbon aviasi dengan SAF.
Baca juga: Gunung Argopuro dan Aliran Sungai Kolbu di Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Yang
Kedua, kedaulatan energi dengan memenuhi kebutuhan energi sektor aviasi secara mandiri dengan memanfaatkan bahan baku domestik.
Ketiga, penciptaan nilai ekonomi melalui hilirisasi bahan baku, penjualan SAF untuk pasar ekspor dan domestik, serta peningkatan investasi.
Namun saat ini, produksi SAF di Indonesia masih bergantung pada jalur Hydro-processed Esters and Fatty Acids (HEFA) dengan menggunakan Palm Kernel Oil (PKO) sebagai bahan baku yang belum ramah lingkungan. Research and Development (RnD) terhadap berbagai jenis bahan baku untuk SAF dengan metode HEFA pun harus terus dilakukan.
Baca juga: Pembangunan PLTN Mulai 2030, BRIN Ingatkan Perubahan Desain dan Keamanan
Keberlanjutan produksi SAF antara lain mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK), mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, mendorong ekonomi sirkular. Juga mengurangi polusi udara lokal, mendukung pembangunan berkelanjutan, serta memenuhi regulasi dan tuntutan pasar.
Saat ini, salah satu yang potensial dibicarakan adalah Used Cooking Oil (UCO) atau minyak jelantah dan Palm Fatty Acid Destillate (PFAD). Keduanya termasuk limbah sebagai bahan baku HEFA generasi berikutnya.
Tools atau metode yang dapat dilakukan untuk mengetahui dampak lingkungan siklus hidup berbagai jenis bahan baku dari produksi SAF adalah dengan menggunakan kajian Life Cycle Assessment (LCA). Kajian LCA adalah suatu metode sistematis untuk mengevaluasi dampak lingkungan dari suatu produk, proses, atau aktivitas dari awal sampai akhir siklus hidupnya.
Baca juga: Ada Dugaan Kriminalisasi, Koalisi Serukan Hentikan Proyek Panas Bumi Poco Leok
LCA mempertimbangkan berbagai tahapan dalam siklus hidup tersebut, mulai dari ekstrasi bahan baku, produksi, distribusi, penggunaan, dan pembuangan akhir.
LCA memiliki beberapa manfaat yang signifikan di Indonesia, seperti mengidentifikasi dampak lingkungan produk atau layanan, mengurangi biaya produksi, meningkatkan efisiensi produksi dan penggunaan sumber daya. Memenuhi persyaratan peraturan lingkungan, membantu perbaikan berkelanjutan, meningkatkan citra perusahaan, membantu pengambilan keputusan yang lebih baik untuk bisnis dan investasi.
Tantangan LCA dalam produksi SAF, meliputi ketersediaan data yang akurat dan lengkap, kompleksitas rantai pasok, metodologi yang beragam, biaya dan waktu, kurangnya standar serta regulasi yang sama.
Baca juga: Murraya sumatrana, Tanaman Liar yang Jadi Penyebar Penyakit pada Jeruk
“Kami menyimpulkan, LCA menyediakan kerangka kerja yang sistematis untuk mengevaluasi dampak lingkungan dari seluruh siklus hidup SAF. Mulai dari produksi bahan baku hingga penggunaan akhir. LCA membantu mengidentifikasi jalur produksi SAF yang paling berkelanjutan, serta area hotspot di mana dampak lingkungan dapat dikurangi,” papar dia dalam workshop bertema Sustainable Used Cooking Oil Supply Chain for Sustainable Aviation Fuel (SAF): Technological Innovation, Social Synergy, and LCA Analysis, di Gedung BJ Habibie Jakarta, Rabu, 16 April 2025.
Hasil kajian LCA memberikan dasar ilmiah untuk pengambilan keputusan terkait pengembangan kebijakan, investasi, dan inovasi teknologi dalam produksi SAF yang efektif. Integrasi LCA dalam pengambilan keputusan akan membantu memastikan bahwa industri penerbangan bergerak menuju masa depan yang lebih ramah lingkungan.
Potensi minyak jelantah
Minyak jelantah merupakan limbah bernilai tinggi apabila dikelola dengan baik. Sebagai bahan baku Sustainable Aviation Fuel (SAF), minyak jelantah dapat memberikan kontribusi terhadap transisi menuju energi hijau serta membuka peluang ekonomi, baik pada tingkat lokal maupun global.
Baca juga: Anggota Komisi IV DPR Soroti Deretan Kasus Pagar Laut yang Tak Kunjung Usai
Philippe Micone dari PT Noovoleum Indonesia Investama memberikan contoh studi kasus kotak penampung minyak jelantah bermerek Pertamina yang disediakan Pertamina Patra Niaga sejak 21 Desember 2024. Saat ini, inisiatif tersebut telah berhasil diterapkan di sembilan lokasi dengan target mencapai 300 lokasi pada akhir 2025.
Ia mengklaim kerja sama dengan Pertamina berjalan cukup sukses karena masyarakat memiliki tingkat kepercayaan tinggi terhadap perusahaan tersebut. Masyarakat pun mudah menyetorkan minyak jelantah melalui kotak-kotak bermerek yang telah ditempatkan di lokasi strategis.
Setiap kotak rata-rata mampu mengumpulkan lebih dari satu ton minyak goreng bekas per bulan yang sebagian besar berasal dari produsen kecil. Selain itu, integrasi aplikasi ke dalam MyPertamina memberikan pengalaman yang mudah dan meningkatkan kepercayaan masyarakat karena prosesnya langsung antara individu dan mesin.
Baca juga: Magma Erupsi Gunung Ruang 2024 Alami Dekompresi Setara Erupsi Gunung Vesuvius 79 Masehi
“Kami akan bekerja sama dengan BRIN untuk menjangkau masyarakat, meningkatkan kesadaran, memotivasi mereka agar datang. Kami akan mendaur ulang minyak yang mereka miliki, serta menghitung berapa banyak emisi CO₂ yang berhasil kami kurangi dari kegiatan ini,” ujar Philippe.
Sementara itu, Oki Muraza dari PT Pertamina (Persero) mengatakan, Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia, sehingga memiliki potensi UCO turunan sawit yang besar. Populasi dan budaya kuliner Indonesia, dengan populasi 276 juta dan tradisi makan gorengan yang kuat menghasilkan UCO dalam volume tinggi dari rumah tangga, restoran dan industri makanan.
Discussion about this post