Baca Juga: Libur Nataru, Kemenparekraf Luncurkan 100 ‘Pak Wisnu’
“Langkah Pemkab Gunungkidul mengajukan peninjauan kembali KBAK Gunung Sewu pun terindikasi inkonstitusional karena tidak memiliki dasar hukum yang jelas,” imbuh Halik.
Merujuk pada Permen ESDM Nomor 17/2012 tentang Penetapan KBAK, pemda hanya bisa mengajukan penetapan KBAK kepada Menteri ESDM. Tidak ada klausul tentang peninjauan kembali dengan tujuan pengurangan luasan KBAK.
Dalam hal penetapan KBAK Gunungsewu, Pemkab Gunungkidul (bersama Pemkab Wonogiri dan Pemkab Pacitan) seharusnya mengikuti proses penetapan KBAK secara utuh, sehingga penetapan KBAK Gunung Sewu seharusnya sudah bersifat final.
Baca Juga: Indonesia Desak Negara Maju Mendanai Pelestarian Keanekaragaman Hayati Dunia
“Badan Geologi harus secara tegas menolak usulan peninjauan KBAK Gunung Sewu yang diajukan Pemkab Gunungkidul,” tegas Petra dari Masyarakat Speleologi Indonesia.
Penetapan KBAK Gunung Sewu berdasarkan Keputusan Menteri ESDM RI Nomor 3045 K/ 40/Men/2014 tentang Penetapan KBAK Gunung Sewu yang dilakukan antara tahun 2012 – 2014 sesuai dengan Permen ESDM Nomor 17/2012 tentang Penetapan KBAK, telah melalui tahapan penelitian, FGD dan ada tahapan evaluasi. Apabila ada keberatan, seharusnya disampaikan saat FGD sebelum penetapan. Persetujuan peninjauan kembali KBAK Gunung Sewu akan menjadi preseden buruk penetapan KBAK di wilayah-wilayah lain.
Alasan Pemkab Gunungkidul mengurangi luasan KBAK untuk mempermudah pembangunan dan investasi dinilai Koalisi Masarakat pemerhati Karst Indonesia adalah alasan yang mengada-ada. Justru menunjukkan keberpihakan Pemkab Gunungkidul terhadap investor dan tidak pedulinya pemkab terhadap perlindungan kawasan karst atau lingkungan hidup.
Baca Juga: ESDM Sebut Stok BBM, LPG, Listrik Aman Selama 17 Hari Perayaan Nataru
“Proyek pembangunan dan investasi di kawasan karst seharusnya dikaji ulang, bukan difasilitasi lebih besar lagi,” imbuh Petra.
Mencermati peta usulan pengurangan KBAK yang diajukan Pemkab Gunungkidul kepada Badan Geologi, koaliasi melihat ada kejanggalan dari sudut pandang ilmu geologi sebagaimana dipaparkan Badan Geologi pada 1 November 2022. Batas kawasan karst seharusnya sesuai dengan batas litologi dalam hal karst Gunungsewu seharusnya mengikuti batas batu gamping formasi Wonosari. Sementara dalam peta yang diajukan Pemkab Gunungkidul, batas KBAK baru yang diusulkan tidak memiliki landasan akademik yang jelas.
Baca Juga: BMKG, Nataru Bertepatan dengan Periode Musim Hujan 2022-2023
Permasalahan-permasalahan yang muncul setelah penetapan KBAK mengindikasikan Permen ESDM Nomor 17/2012 tidak memadai sebagai regulasi yang mengatur kawasan karst. Perlu ada regulasi yang bersifat holistik dan multisektoral, karena karst tidak cukup hanya dilihat dari sisi ilmu kebumian saja. Melainkan juga harus dilihat dari sisi ekosistem esensial yang ada di sekitar kawasan karst, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan prinsip kehati-hatian sesuai UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Menurut koalisi, pemerintah pusat perlu melihat kembali usulan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengeloaan Kawasan Karst yang telah diusulkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Diyakini RPP Pengelolaan Karst ini telah ada di meja Setneg sejak 2015 dan belum ada kejelasan hingga saat ini. RPP ini diharapkan dapat memperkuat pengelolaan kawasan karst yang lebih baik karena telah disusun secara holistik, multipihak, dan melihat karst sebagai sebuah ekosistem yang tersusun atas unsur fisik dan unsur biologis. [WLC02]
Sumber: Walhi Yogyakarta
Discussion about this post