Ketika kemarau panjang banyak wilayah yang mengalami krisis air bersih. Sebaliknya saat musim penghujan tidak sedikit masyarakat yang terdampak bencana seperti banjir dan banjir bandang karena pengelolaan lingkungan tidak dilakukan dengan baik.
“Kemarin kami juga dari Sumatera Barat bersama Dirjen Sumber Daya Air. Beliau kebingungan dengan jatuhnya air yang luar biasa dari Gunungapi Marapi mengakibatkan banjir bandang dan 72 orang meninggal dunia serta banyak rumah yang hanyut. Ini menjadi catatan penting bagi kita semua,” ungkap Suharyanto.
Persoalan tata kelola air dan sungai menurut Suharyanto memang tidak mudah. Sebagai seorang prajurit TNI, Suharyanto merasakan sendiri bagaimana pengelolaan sungai itu adalah urusan besar dan tidak dapat dilakukan seorang diri. Suharyanto kemudian mengisahkan saat menjabat Komandan Korem 051/Wijayakarta di Cikarang. Ia ikut memungut sampah di Sungai Ciliwung bersama anggotanya.
Baca Juga: Upaya KLHK Membuktikan Kerusakan Gambut Dapat Dipulihkan
Namun hal itu belum selesai dan masih berjalan hingga sekarang. Warga Denpasar dan Bali pun secara umumnya patut bersyukur karena hampir semua Sungai Pulau Dewata itu dapat dikelola dengan baik.
“Ketika itu program Ciliwung. Setiap hari Sabtu, saya sendiri mengambil sampah bersama anggota lainnya dari sungai dengan tangan kosong. Setiap Sabtu selama satu setengah tahun. Itupun tidak selesai dan masih berjalan sampai saat ini,” kenang Suharyanto.
Belajar dari Tukad Bindu
Ihwal keinginan Suharyanto ke Tukad Bindu juga terdorong arahan Presiden Joko Widodo yang disampaikan pada event Rakornas PB BNPB. Bahwa dalam penanggulangan bencana agar selalu mengutamakan upaya pencegahan, mitigasi hingga kesiapsiagaan demi mengurangi risiko bencana. Jika upaya pencegahan dapat dilakukan, maka dampak bencana dapat diminimalisir sehingga dipastikan juga mampu menyelamatkan banyak orang.
Baca Juga: Nusa Tenggara Timur Ditarget Bebas Rabies Pada Desember 2024
Di samping itu, Suharyanto memahami bahwa anggaran untuk pencegahan ini tidak sebanding dengan luas wilayah Indonesia yang memiliki ragam potensi bencananya. Atas dasar itu harus dipikirkan strategi terbaik tentang bagaimana agar upaya pencegahan dapat dilakukan secara efektif dan seefisien mungkin.
“Berulang kali Bapak Presiden dalam setiap rakornas PB BNPB menekankan mitigasi dan pencegahan. Tetapi kemampuan anggaran mitigasi bencana tidak sebanding dengan jumlah bencananya,” kata Suharyanto.
Dengan melihat, mendengar dan merasakan nuansa Tukad Bindu secara langsung dan kisah kegigihan para pegiat lingkungan, Suharyanto lantas tergerak untuk memaksimalkan potensi komunitas sebagai solusi jitu yang harus dilakukan di tengah benturan keterbatasan anggaran. Menurut dia, segala upaya yang dilakukan oleh komunitas “Gila Selingkuh” itu terbukti lebih nyata, efektif dan efisien.
Baca Juga: Mitigasi Kebisingan, Pasang Rak Buku untuk Memecah Gelombang Suara
“Kalau urusan tanggap darurat sejak BNPB ada sampai sekarang selalu dapat menuntaskannya. Tapi pencegahan ini yang perlu ditingkatkan. Setelah melihat Tukad Bindu, saya langsung punya ide dan keputusan. Sebaiknya anggaran bidang pencegahan untuk mendukung dan membina komunitas seperti ini. Itu lebih nyata,” kata Suharyanto.
Di hadapan anggota komunitas “Gila Selingkuh”, Suharyanto menyatakan bahwa pengelolaan sungai sebagai salah satu urat nadi kehidupan dapat dilakukan komunitas tersebut secara maksimal. Bagi Suharyanto, Tukad Bindu akan menjadi atensi BNPB sekaligus menjadi pilot project bagi lokasi lain di Tanah Air.
“Tentu saja akan menjadi core-bussiness kami di BNPB terkait dengan menjaga lingkungan sungai yang sangat penting. Saya mewakili BNPB menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya atas apapun yang sudah dilakukan komunitas ini,” ungkap Suharyanto.
Bagi BNPB, Tukad Bindu adalah tempat untuk belajar. Ia juga memberikan dukungan moril maupun materil untuk keberlangsungan dan keberlanjutan Tukad Bindu sebagai contoh keseimbangan antara alam, manusia dan Sang Penciptanya. [WLC02]
Discussion about this post