Baca juga: Haenyeo, Perempuan Penyelam dengan Denyut Jantung Lebih Lambat dan Tekanan Darah Lebih Rendah
Akademisi kehutanan, Eko Cahyono menjelaskan tujuan akhir pengelolaan kekayaan alam di nusantara, termasuk hutan, sejak awal republik berdiri adalah memastikan kemanusiaan yang adil dan beradab untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sayangnya praktik yang terjadi dalam kebijakan kehutanan dan agraria sejak era kolonial tidak berubah sampai saat ini. Kondisi ini menjadi sumber konflik struktural, marginalisasi, mengesampingkan masyarakat adat dan menimbulkan berbagai kerusakan ekosistem jangka panjang.
“Koreksi fundamental atas regulasi dan kebijakan kehutanan niscaya dilakukan untuk mengembalikan mandat konstitusional dan meluruskan salah asuh negara atas hutan Indonesia,” kata dia.
Baca juga: Seruan Koalisi Warga Flores-Lembata: Hentikan Proyek Panas Bumi di NTT yang Melukai Kami
UUK lama tidak akomodasi perubahan iklim dan perempuan
Peneliti Yayasan MADANI Berkelanjutan, Sadam Afian Richwanudin menilai, UUK yang terbit 1999 belum mengakomodir masalah perubahan iklim. Mengingat baru pada 2016 Indonesia membangun komitmen terhadap iklim, setelah meratifikasi Paris Agreement.
“Kami merasa undang-undang yang baru ini perlu disesuaikan. Terlebih kita menghadapi persoalan iklim yang sangat pelik, krisis iklim yang kita rasakan saat ini,” kata Sadam.
Dengan ambisi penurunan emisi, Indonesia membutuhkan norma yang lebih tegas untuk melarang segala jenis industri ekstraktif yang membuka hutan alam yang tersisa. Sebab, pemerintah biasanya akan mengistimewakan proyek strategis nasional (PSN) untuk bisa membuka hutan.
Baca juga: Desain Kapal Pembersih Sampah di Sungai Perkotaan
“Kenapa tidak dibalik? Sektor perhutanan bisa membuat aturan bahwa hutan alam tidak boleh dibuka untuk apa pun,” tegas dia.
Sita Aripurnami dari Women Research Institute (WRI) mengutip data AMAN bahwa dari kriminalisasi terhadap 925 anggota masyarakat adat yang mempertahankan hutan sebagai ruang hidupnya, telah berdampak besar bagi perempuan yang dipaksa menjadi kepala keluarga. UU Kehutanan yang sekarang tidak memberi jaminan sosial bagi masyarakat adat, apalagi yang terdampak konflik kepemilikan lahan.
“Jadi kami setuju UU Kehutanan yang lama harus dicabut,” tegas dia.
Dan UU yang baru wajib menyertakan klausul kesetaraan gender, partisipasi bermakna perempuan dan perlindungan kelompok rentan serta kewajiban pengumpulan data terpilah, penyediaan mekanisme afirmatif dan pelibatan perempuan dalam semua tahap kebijakan kehutanan.
Baca juga: Banjir Musim Kemarau, Greenpeace Serukan Penghentian Ekspansi Energi Fosil
Juru Kampanye Kaoem Telapak, Patria Rizky mengatakan pembaruan UU Kehutanan harus membuka ruang partisipasi publik yang membuat masyarakat dapat ikut melakukan pengawasan untuk mendukung tata kelola hutan yang lebih baik.
Koalisi mengutip Pasal 3 UU 41 Tahun 1999 yang menyebutkan, bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Namun hasil evaluasi koalisi melalui aspek filosofis, sosiologis dan yuridis telah menunjukkan tujuan tersebut gagal tercapai.
Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, koalisi memberi rekomendasi yakni menghentikan proses perubahan keempat UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan menggantinya dengan membentuk UU Kehutanan baru. Serta, proses pembentukan UU Kehutanan baru wajib dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah diatur di dalam Putusan MK Nomor 91/PUU/XVIII/2020 tentang partisipasi yang bermakna. [WLC02]







Discussion about this post