Wanaloka.com – Bertepatan dengan Konferensi Nikel dan Kobalt Indonesia di Jakarta, kembali terjadi ledakan di PT Indonesia Tsinghan Stainlees Steel (ITSS) yang berada di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Morowali, Sulawesi Tengah pada tanggal 13 Juni 2024 pukul 22.00 WITA. Kecelakaan kerja di perusahaan smelter nikel dan stainless steel itu mengakibatkan dua orang pekerja bernama Jekmaryono dan Yudarlah mengalami luka bakar serius.
Sumber ledakan diduga dari las Oxy asetilin yang merupakan las pembakaran C2H2 dengan O2 dari gas asetilin yang sangat kuat untuk membelah besi logam dan baja. Akibatnya, kedua korban menjalani perawatan di RS Bungku Kabupaten Morowali.
“Atas kecelakaan kerja ini, kami meminta kepada Kementerian Ketenagakerjaan dan Dinas Tenaga Kerja Sulawesi Tengah melakukan audit Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) perusahaan dan menutup sementara kegiatan produksi PT ITSS. Audit dilakukan secara independen dan melibatkan semua pihak serta serikat-serikat buruh,” tegas Pengkampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tengah, Wandi dalam siaran pers tertulis tertanggal 15 Juni 2024.
Baca Juga: Menyusul Pernyataan Raffi Ahmad, Koalisi Gunungkidul Melawan: Batalkan Proyek Beach Club
Dalam video amatir, dua pekerja itu hanya diangkut menggunakan mobil drum truk berwarna hijau.
“Evakuasi korban yang tidak memenuhi standar di kawasan IMIP ini membuktikan contoh sangat amburadulnya manajemen SMK3,” imbuh Wandi.
Padahal kecelakaan kerja di PT ITSS ini pernah terjadi sebelumnya pada 24 Desember 2024. Tungku ferrosilicon perusahaan itu meledak yang mengakibatkan 21 orang TKI dan TKA tewas dan puluhan lainnya luka berat, bahkan cacat permanen. Ledakan ini juga dipicu las oxy asetilin.
Insiden ledakan pada Desember 2023 lalu seharusnya menjadi pembelajaran untuk memperbaiki sistem SMK3 di PT ITSS dan kawasan IMIP secara keseluruhan.
“Kecelakaan berulang di PT ITSS ini membuktikan lemahnya pengawasan dan pembiaran oleh pemerintah. Seperti tidak ada tanda–tanda perbaikan sama sekali yang dilakukan perusahaan berbendera Cina ini,” kata Wandi.
Baca Juga: Banjir Distrik Iwaka Mimika Dua Ribu Penduduk Terdampak
Walhi Sulteng menyoroti investigasi yang dilakukan pemerintah pascaledakan tungku smelter pada Desember 2023. Hasilnya, hanya menetapkan dua orang TKA sebagai dalang kejadian tersebut dan tidak memberikan sangsi atas lalainya perusahaan dalam menjalankan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Sementara Walhi Sulteng menilai ada sistem SMK3 yang tidak diberlakukan dalam proses perbaikan tungku ferrosilicon.
“Pekerja selalu menjadi korban dari ambisi produksi nikel yang terus digenjot untuk mendatangkan laba besar dalam program hilirisasi nikel. Sementara pemerintah terlihat sangat abai untuk memberikan jaminan dan perlindungan bagi pekerja,” papar Wandi.
PT ITSS merupakan anak perusahaan dari Tsighan Grup investor asal Tiongkok, yang merupakan pemegang saham mayoritas di kawasan IMIP, dan juga berinvestasi di Singapura, India, dan Amerika Serikat serta mengelola 15 anak perusahaan.
Kepala Divisi Kampanye Eksekutif Nasional Walhi, Fanny Tri Jambore menyebut peristiwa kecelakaan, ledakan, kebakaran, maupun kebencanaan lain yang berulang hingga memakan korban jiwa dalam industri nikel ini menunjukkan kegagalan perencanaan pembangunan secara sistemik.
Baca Juga: Jatam dan Warga Serukan Stop Beli Nikel Kotor Indonesia
Situasi ini seharusnya dapat menjadi evaluasi menyeluruh terhadap rencana pembangunan pemerintah. Mengingat pemberian izin proyek-proyek berisiko tinggi, seperti industri pertambangan dan industri hilirnya masih belum secara menyeluruh menggunakan instrumen-instrumen dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan ketat.
“Produksi nikel di Sulawesi Tengah yang selalu dibanggakan pemerintah itu bersumber dari tata kelola yang ‘sangat kotor’. Sebab dilakukan dengan cara merusak lingkungan, memiskinkan masyarakat yang berada di lingkar industri dan pertambangan, serta banyak pekerja yang menjadi korban,” papar Fanny.
Setiap rencana pembangunan yang dapat mengakibatkan perubahan iklim; kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati; peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan; penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam; peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan; peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat; dan/atau peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia seharusnya memenuhi setiap aspek instrumen pencegahan yang tertuang dalam UU 32/2009 termasuk di dalamnya pengkajian risiko.
Baca Juga: Dua Sindikat Pemburu Badak Jawa di Ujung Kulon, 6 Ditangkap dan 8 Buronan
Discussion about this post