Wanaloka.com – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pada 12 Juni 2024 merilis keterangan tertulis mengenai aksi masyarakat Dairi yang terancam rencana tambang Dairi Prima Mineral (DPM) di Kabupaten Dairi, Sumatra Utara di depan Kedutaan Cina dan Mahkamah Agung (MA) di Jakarta, Senin, 11 Juni 2024. Mereka mengekspresikan kemarahan karena pemerintah Indonesia, pengembang tambang, dan pemodal baru yang dikendalikan pemerintah Cina tetap mendorong proyek agar berlanjut. Padahal banyak bukti yang menunjukkan tambang tersebut dapat menimbulkan risiko berat dan mematikan bagi desa-desa sekelilingnya.
Kelompok lingkungan dan HAM serta pakar tambang internasional menekankan situasi ini seperti tes litmus bagi masa depan keselamatan tambang di Indonesia. Kasus itu berimplikasi luas terhadap reputasinya sebagai pusat kegiatan tambang yang bertanggung jawab, termasuk terhadap mineral “transisi” yang digunakan dalam teknologi energi hijau.
Demonstrasi di luar Kedutaan Cina merupakan tanggapan atas berita terbaru yang mengatakan sebuah perusahaan yang dikendalikan pemerintah Cina telah mengumumkan akan memberikan dana ratusan juta dolar untuk membantu agar proyek bisa berlanjut. Mereka menuntut pemerintah Cina, sebagai pemegang saham dari investor terbesar dan pengembang proyek, beserta regulator perusahaan-perusahaan ini agar segera menghentikan pembangunan dan pendanaan proyek DPM.
Baca Juga: Komisi VI DPR Cecar Menteri Bahlil Soal Izin Konsesi Tambang untuk Ormas Agama
Konsultan lingkungan untuk tambang yang sudah punya pengalaman 40 tahun, Steve Emerman telah meninjau rencana proyek DPM itu. Menurut dia, kasus DPM harus dilihat seperti pepatah ‘kenari di tambang batu bara’ yang dimaksudkan proyek itu diprediksi akan menimbulkan malapetaka. Sementara beragam bencana tambang yang terjadi karena tata kelola yang buruk. Pengadilan berperan penting untuk memastikan pemerintah melindungi rakyat dan lingkungan.
“Sebelumnya telah saya sampaikan, tambang DPM yang diusulkan adalah kasus paling parah yang pernah saya temui. Gamblangnya, ketidakpedulian mereka akan nyawa manusia dan lingkungan sangat mengejutkan. Jika DPM diperbolehkan untuk melanjutkan, semua perusahaan manufaktur yang mencari mineral untuk transisi energi bersih akan angkat kaki dari Indonesia,” kata Emerman.
Bahkan jika persetujuan lingkungan DPM tidak ditarik, maka akan menunjukkan di mata dunia bahwa Indonesia tidak memiliki mekanisme yang dibutuhkan untuk memastikan ada perlindungan lingkungan dan HAM terkait penambangan.
Baca Juga: Ali Awaludin, Tanpa Tindak Lanjut Darurat Sampah di Yogyakarta Jadi Masalah Menahun
“Kasus DPM akan menguji signifikansi kasus ini di skala internasional. Jika sebuah tambang jelas akan mengakibatkan bencana,tetapi diizinkan untuk dilanjutkan, maka tidak ada gunanya klaim bahwa Indonesia dapat membantu dunia dalam transisi energi bersih,” kata Steve.
Pinjaman Diberikan Meski Tahu Berisiko
Bermula ketika perusahaan induk Dairi Prima Minerals (DPM), yakni China Nonferrous Metal Industry’s Foreign Engineering and Construction Co. Ltd. (NFC) pada 27 April 2024 akan mendapat pinjaman dari Carren Holdings Corporation Limited senilai 245 juta USD untuk pembangunan proyek seng dan timbal di dekat Parongil, Kabupaten Dairi, Sumatra Utara.
Carren Holdings Corporation Limited terdaftar di Hong Kong dan sepenuhnya dimiliki oleh CNIC Corporation Limited. CNIC Corporation terutama dikuasai oleh China’s State Administration of Foreign Exchange (SAFE).
Baca Juga: Ada 700 Ribu M3 Material Vulkanik Pascaerupsi Marapi, BNPB Siapkan Pemasangan EWS
Anehnya, pinjaman muncul setelah pakar keselamatan tambang internasional mengonfirmasi bahwa proyek DPM menimbulkan risiko berat bagi masyarakat dan lingkungan. Termasuk risiko bendungan tailing yang direncanakan bisa runtuh.
Potensi risiko yang terjadi adalah banjir yang membawa jutaan ton limbah tambang yang beracun akan merenggut nyawa banyak penduduk desa yang tinggal di hilir. Proyek ini pun ditengarai tidak akan mendapatkan izin apabila dibangun di Cina. Sebab tidak memenuhi standar keselamatan di mana jarak bendungan tailing kurang dari 1000 meter ke hulu dari perumahan penduduk.
Pada Agustus 2022, meskipun mengetahui bahaya tambang, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia memberikan persetujuan lingkungan atas proyek ini. Masyarakat mempertanyakan hal ini di PTUN Jakarta. Pengadilan berpihak kepada pengaduan masyarakat dan memutuskan agar Persetujuan Lingkungan tersebut dibatalkan.
Baca Juga: Ancaman Kekeringan di Sumatra hingga Tahun 2050 dan Suhu Jakarta Naik Tajam
Pengadilan menyatakan area tambang DPM rawan bencana, sehingga tidak cocok untuk tambang. Bahkan KLHK dinilai gagal menjalankan tanggung jawab untuk menerapkan tata kelola yang baik. Kemudian DPM dan Kementerian mengajukan banding ke PT TUN dan menang. Masyarakat pengadu pun meminta peninjauan oleh MA yang saat ini tengah berjalan. Mereka berharap putusan MA memperkuat dan mendukung Putusan PTUN Jakarta.
Salah satu pengadu, Rainim Purba mengaku heran karena sebuah perusahaan yang dikendalikan pemerintah Cina menyetujui mendanai proyek yang membawa bencana, sementara kasus hukumnya masih berjalan. Ia menduga pemerintah Cina tidak pernah diberi tahu risikonya.
Discussion about this post