Wanaloka.com – Dua desa dari dua kecamatan di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah dilanda kekeringan. Kekeringan tersebut terjadi karena dipicu tidak adanya hujan yang turun beberapa hari terakhir ditambah mulai masuknya musim kemarau di wilayah setempat.
Berdasarkan laporan yang diterima Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 9 Juni 2024, sebanyak 158 kepala keluarga (KK) atau 627 jiwa terdampak kekeringan sehingga warga kesulitan mengakses air bersih. Dua desa itu meliputi Desa Ujungmanik di Kecamatan Kawunganten dan Desa Rawajaya di Kecamatan Bantarsari.
“Pemerintah daerah setempat telah menetapkan status Siaga Darurat Bencana Kekeringan di Kabupaten Cilacap sejak 22 Mei hingga 22 November 2024. Surat yang diterbitkan Bupati Cilacap tersebut merupakan upaya kesiapsiagaan yang dilakukan guna merespon dampak kekeringan di awal musim kemarau yang mulai terjadi,” kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari dalam siaran tertulisnya tertanggal 8 Juni 2024.
Baca Juga: Pemetaan Daerah Rawan Pascaerupsi Gunung Ibu, Waspada Banjir dan Gempa Bumi
Penanganan darurat dilakukan dengan mendistribusikan air bersih kepada warga sebagai upaya respon cepat. Adapun air bersih yang didistribusikan sebanyak 1 tangki atau 5.000 liter, baik di Desa Ujungmanik maupun Desa Rawajaya.
Ancaman Kekeringan di Pulau Sumatra hingga 2050
Sementara berdasarkan kajian perubahan iklim yang dilakukan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Pulau Sumatra, khususnya bagian tengah dan selatan yang membentang dari Pekanbaru hingga Lampung pesisir timur menghadapi ancaman kekeringan. Bahkan ancaman itu meningkat signifikan sebesar 20-25 persen hingga tahun 2050.
“Pada saat bersamaan, wilayah-wilayah tersebut juga mengalami peningkatan hujan ekstrem sebesar 10-30 persen,” ungkap Peneliti Klimatologi BRIN, Prof. Erma Yulihastin dalam acara World Environmental Day di UIN Raden Intan Lampung pada 6 Juni 2024 lalu.
Baca Juga: Eka Djunarsjah, Perlindungan Lingkungan Laut Syarat Mutlak Pembangunan Berkelanjutan
Erma menekankan wilayah Sumatra akan mengalami perubahan durasi musim hujan yang lebih panjang, sementara deret hari-hari kering tanpa hujan juga meningkat.
“Akibatnya, sekali hujan bisa sangat ekstrem. Wilayah yang paling terdampak dengan musim hujan yang lebih lama dan hujan ekstrem adalah Sumatra bagian selatan, termasuk Lampung,” tutur dia.
Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN itu menambahkan La Niña diprediksi mulai terbentuk pada Juni 2024 dan dapat dikonfirmasi pada Agustus 2024. La Niña ditandai anomali negatif suhu permukaan laut di Samudra Pasifik kurang dari minus 0,5 derajat Celcius selama minimal tiga bulan berturut-turut. Dampaknya, pembentukan kemarau basah atau musim kemarau yang lebih pendek selama dua bulan lebih cepat di Sumatra dan Kalimantan, misalnya di wilayah Lampung dan Sumatra Selatan.
Baca Juga: Hari Laut Sedunia, Walhi dan Masyarakat Pesisir Serukan Laut untuk Rakyat Bukan Korporasi
Langkah yang penting dilakukan adalah mitigasi dan adaptasi kebijakan pemerintah daerah, terutama oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) yang harus mempertimbangkan hasil dari kajian-kajian perubahan iklim. Salah satu upaya untuk merespons perubahan iklim adalah dengan sering memutakhirkan kebijakan terkait teknis penentuan masa tanam, jadwal irigasi, dan sejenisnya.
“Harus ada terobosan-terobosan dalam pengambilan kebijakan yang dapat dilakukan secara cepat, tepat, dan terus-menerus diperbarui,” jelas Erma.
Tim periset BRIN telah membangun berbagai tools Sistem Pendukung Keputusan untuk pengambilan kebijakan teknis terkait pertanian, hidrologi, dan kebencanaan. Adanya prediksi ancaman hujan ekstrem dan kekeringan, langkah-langkah mitigasi yang tepat dan cepat sangat diperlukan untuk mengurangi dampak negatif perubahan iklim di Sumatra.
Baca Juga: Maikel Primus, Lestarikan Lingkungan Hidup di Papua yang Berkelanjutan
Ahli Planologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Prof. Adjie Pamungkas juga hadir dalam seminar tersebut. Mereka memaparkan mengenai perubahan iklim dari hulu ke hilir. Mereka juga membahas fakta-fakta ilmiah perubahan iklim di Sumatra dan aksi nyata yang bisa dilakukan untuk mitigasi, termasuk pengurangan penggunaan plastik dan bahan bakar fosil yang dapat dilakukan oleh mahasiswa dan generasi Z.
Suhu Permukaan Jakarta Naik 1,6 Derajat Celsius
Sementara suhu permukaan di Jakarta meningkat tajam sebesar 1,6 derajat celsius dalam 130 tahun terakhir. Peningkatan itu lebih kuat dibandingkan laju kenaikan suhu global dan regional.
Praktisi Cuaca dan Iklim Ekstrem Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Siswanto mengungkapkan, secara umum, iklim Jakarta telah berubah signifikan seiring dengan pertumbuhan kota. Ini berindikasi terhadap peningkatan suhu permukaan sebesar satu derajat celsius yang dapat meningkatkan ekstremitas hujan sebesar 14 persen.
Baca Juga: Gempa Dangkal Guncang Jayapura, Lindu Dalam Goyang Kepulauan Selayar
Dampaknya, curah hujan Jakarta kategori ekstrem menunjukkan tren peningkatan signifikan dengan sifat curah hujan yang mengalami perubahan.
“Semakin deras, durasinya lebih pendek. Peningkatan curah hujan pagi hari dan pergeseran hujan siang ke malam hari, serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan pada musim hujan,” kata Siswanto, dalam webinar PRIMA’s Talk bertajuk “Urban climate of Jakarta city: from the last 130 years to the end of 21st century” pada 30 Mei 2024.
Discussion about this post