Menurut dia, KLHK melakukan kekonyolan karena memberikan persetujuan lingkungan kepada DPM. Sementara mandat kementerian adalah melindungi rakyat dan lingkungan. Sebaliknya, mereka justru mendukung tambang yang berbahaya yang berpeluang membunuh masyarakat dan meracuni lingkungan sekitar.
Baca Juga: Pemetaan Daerah Rawan Pascaerupsi Gunung Ibu, Waspada Banjir dan Gempa Bumi
“Saya mengutuk pendanaan tambang DPM, mengutuk KLHK karena memberikan Persetujuan Lingkungan DPM. Seolah kedua pemerintah, Indonesia dan Cina, tidak peduli dengan rakyat ataupun lingkungan,” tegas Rainim.
Warga masyarakat Desa Sumbari, Mangatur Lumbantoruan mengungkapkan bahwa seluruh permukaan tanah di area itu tidak stabil. Dunia pun tahu risiko yang bisa terjadi pada bendungan tailing di atas tanah yang tidak stabil.
“Bisa merenggut nyawa manusia. Menghancurkan lingkungan. Tapi mengapa lembaga negara Cina ini mendanai sesuatu yang akan membunuh kami? Yang bahkan tak akan diizinkan di Cina sendiri!” tukas Mangutur.
Baca Juga: Eka Djunarsjah, Perlindungan Lingkungan Laut Syarat Mutlak Pembangunan Berkelanjutan
Bakumsu, sebuah LSM yang membantu komunitas untuk masalah hukum mengingatkan kebocoran bendungan tailing di Brasil pada tahun 2015 telah mengakibatkan hilangnya 272 jiwa, hancurnya desa- desa, dan teracuninya sistem sungai. Kemudian BHP, perusahaan penambangan terbesar dunia, menawarkan kompensasi sebesar $25,7 miliar dolar karena runtuhnya bendungan tailing.
“Para pakar sudah mengatakan kepada kami bahwa bendungan yang diusulkan DPM dapat mengakibatkan kerusakan yang sama. Jujur, saya terkejut lembaga pemerintah Cina bisa ada di balik proyek DPM, terlebih dengan risiko-risiko ini. Sungguh tidak ada manfaatnya,” kata Direktur Bakumsu, Tongam Panggabean.
Ia menambahkan, dunia tengah mencari mineral dan logam untuk transisi energi global. Sebab orang ingin transisi energi yang ‘bersih’. Pemerintah Indonesia juga mengatakan negara ini akan menjadi pusat dunia (penambangan) mineral untuk transisi energi yang diambil secara bertanggung jawab.
Baca Juga: Hari Laut Sedunia, Walhi dan Masyarakat Pesisir Serukan Laut untuk Rakyat Bukan Korporasi
“Ini tidak akan terjadi apabila perusahaan seperti DPM terus mendapatkan persetujuan, dan pengadilan tidak melakukan apa pun,” kata Tongam.
Muhammad Jamil dari Jatam menambahkan, ada ribuan orang di Dairi dan Aceh yang dapat terkena dampak negatif dari tambang DPM ini. Sementara pembiayaan dan persetujuan yang diberikan kepada tambang yang terkait dengan bencana terjadi di seluruh Indonesia.
“Masyarakat tidak seharusnya menjadi korban dari keputusan finansial yang dilakukan secara gegabah,” tegas Jamil.
Baca Juga: Maikel Primus, Lestarikan Lingkungan Hidup di Papua yang Berkelanjutan
Butuh Dukungan MA
Sementara dalam aksi di depan Gedung MA Jakarta, perwakilan masyarakat mendesak pihak mahkamah atau pengadilan mempercepat proses kasasi untuk menentang penerbitan persetujuan lingkungan oleh pemerintah Indonesia untuk DPM. Mereka juga menyerukan mahkamah atau pengadilan memberikan pesan yang jelas bahwa persetujuan tersebut merupakan kesalahan dan dibatalkan.
“Belum terlambat. Pemodal dari Cina ini mungkin hanya kurang diberi informasi. Jika memang demikian, mereka seharusnya menarik dukungan mereka,” kata Mangatur.
Namun apabila mereka tetap berencana menjalankan proyek yang membahayakan itu, Rainim menyatakan sikap akan terus melawan.
“Tidak ada pilihan. Hidup kami, mata pencaharian kami, dan budaya adat kami terancam bahaya. Kami ingin para pemodal berhenti mendanai tambang yang berbahaya ini. Kami butuh MA untuk mengakhiri ini, dan melakukannya segera,” tegas Rainim. [WLC02]
Discussion about this post