Sementara itu, masyarakat yang hidup di pesisir juga belum dilibatkan secara inklusif. Sangat penting memastikan suara nelayan tradisional didengar dan diperhitungkan dalam penanganan perubahan iklim. Khususnya dalam konteks penyusunan Second NDC.
Faktanya, nelayan kecil dan tradisional adalah kelompok paling terdampak perubahan iklim. Hasil survei Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Tahun 2023 menunjukkan perubahan iklim telah menurunkan hasil tangkapan sebesar 72 persen, menurunkan pendapatan sebesar 83 persen, dan meningkatkan risiko kecelakaan sebesar 86 persen.
Baca Juga: Longsor Terjang Kandang Peternakan Ayam di Blitar, Dua Tewas
“Tanpa pelibatan nelayan, kebijakan yang dihasilkan berisiko tidak relevan dan tidak efektif di lapangan. Nelayan kecil dan tradisional tidak hanya ingin menjadi objek dari kebijakan, tetapi juga subjek yang aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan,” tegas Ketua Umum KNTI, Dani Setiawan.
Sementara jumlah nelayan menurun karena minat generasi muda untuk menjadi nelayan atau berusaha di sektor kelautan perikanan minim. Kondisi ini seiring meningkatnya risiko bekerja di laut, juga yang bergerak di sektor budidaya ikan dan rumput laut akibat dari ada perubahan iklim dan menurunnya kesehatan laut dan pesisir.
Penurunan jumlah nelayan perlu diantisipasi segera, karena akan berdampak luas mulai dari ketersediaan pangan hingga serapan tenaga kerja yang selama ini terserap sektor usaha kelautan perikanan. Jadi perlu langkah serius dari pembuat kebijakan. Juga perlu pelibatan bersama para pelaku di sektor pangan, yakni nelayan, pembudidaya ikan, petani, peternak dalam penyusunan kebijakan yang berkaitan dengan penanganan perubahan iklim.
Baca Juga: Walhi Sebut Tambang Ilegal Kian Marak Akibat Proyek Tol Yogyakarta-Solo
“Harapannya, pelibatan tersebut akan menghadirkan produk kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat terdampak perubahan iklim dan terwujud kemampuan adaptasi yang mumpuni bagi nelayan muda dan pelaku usaha kelautan perikanan lainnya,” tambah Ketua Umum Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia, Hendra Wiguna.
Di sisi lain, sekitar 68 juta orang muda mendominasi populasi Indonesia. Masa depan orang muda yang diharapkan Pemerintah sebagai bonus demografi akan terancam dengan semakin parahnya bencana ekologis akibat dampak perubahan iklim.
Apalagi 70 persen bencana ekologis di Indonesia adalah akibat perubahan iklim. Jumlah dan intensitasnya akan semakin meningkat seiring suhu bumi yang semakin panas menuju jalur bahaya neraka iklim 1,5 derajat Celcius.
Baca Juga: Vetiver Tanaman Pengendali Longsor Dangkal dan Permukaan
“Saat undang-undang mengenai mitigasi dan adaptasi iklim yang memprioritaskan keadilan dan partisipasi rakyat secara bermakna belum hadir, seluruh orang muda akan menjadi korban. Cita-cita menuju Indonesia maju akan sirna,” ujar dari Extinction Rebellion Indonesia, Decmonth.
Atas dasar persoalan-persoalan tersebut, 32 organisasi masyarakat sipil yang peduli krisis iklim mengirim dan menandatangani Surat Terbuka kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Kami sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang terdampak krisis iklim dan memiliki aspirasi mewujudkan keadilan iklim bagi rakyat Indonesia meminta agar proses penyusunan Second NDC betul-betul mencerminkan proses partisipasi yang inklusif dan bermakna. Jika tidak, maka dapat mendatangkan bahaya lebih besar,” tegas Torry Kuswardono.
Baca Juga: Aktivitas Tambang Galian C untuk Material IKN Meninggalkan Banjir di Palu-Donggala
Sebanyak 32 organisasi tersebut meliputi 350.org Indonesia; Aksi! for Gender, Social and Ecological Justice; Bengkel Advokasi Pemberdayaan dan Pengembangan Kampung (Bengkel APPeK); Center of Economic and Law Studies (CELIOS); Climate Rangers Jakarta, Extinction Rebellion Indonesia; Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI); Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP); Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK); Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI); Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia (KPPMPI).
Kemudian Koaksi Indonesia; Koalisi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan dan Demokrasi; Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA); Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Konsorsium untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi (KONSEPSI); Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M); Lembaga Transform NTB; Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS) Indonesia.
Juga Perkumpulan HuMa Indonesia; Perkumpulan Jiwa Sehat (PJS); Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN); Publish What You Pay (PWYP) Indonesia; Solidaritas Perempuan (SP); Thamrin School of Climate Change and Sustainability; Working Group ICCAs Indonesia (WGII); YAKKUM Emergency Unit (YEU); Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis); Yayasan Konservasi Way Seputih (YKWS); Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI); Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS); Yayasan PIKUL. [WLC02]
Discussion about this post